Masalah stunting (pertumbuhan badan tak maksimal) memang tidak bisa dipandang sebelah mata. Butuh penanganan dan perhatian serius. Untuk itu, Baperlitnag Banjarnegara terus melakukan percepatan penurunan kasus stunting dengan Gerakan Sehat Wanita dan Anak dengan Konvergensi Stunting (Sewa Kos).
Meskipun angka prevalensi balita stunting di Kabupaten Banjarnegara cenderung menurun pada tahun 2021 yang mencapai 22,39, namun angka tersebut masih di bawah target nasional yang dipatok sebesar 14 persen pada tahun 2024.
Plt. Kepala Baperlitbang Banjarnegara, Yusuf Agung Prabowo melalui Kabid Pemerintahan dan Kesejahteraan Sosial Fajar Anggun Sawitri mengatakan, berdasarkan data yang ada, pada tahun 2019, di Banjarnegara masih terdapat 10.446 kasus stunting atau 23,74 persen. Angka ini turun menjadi 9.934 balita yang mengalami stunting pada tahun 2021 atau setara dengan 22,39 persen.
Menurutnya, dengan Gerakan Sewa Kos ini, maka akan lebih memperkuat koordinasi antar dinas yang ikut dalam penanganan stunting. Artinya komunikasi ini akan meningkatkan semangat bersama dalam percepatan dalam menentukan titik fokus penanganan stunting.
“Dengan Gerakan Sewa Kos ini, maka penanganan akan lebih terfokus, sebab saat ini ada 10 desa yang menjadi lokasi penanganan stunting di Banjarnegara, dan ke depan tentu akan terus bertambah, sehingga penekanan kasus stunting di Banjarnegara ini bisa terus menurun,” katanya.
Dikatakannya, kunci pencegahan dan percepatan penurunan stunting sendiri sebenarnya ada pada intervensi pada 1000 hari pertama kehidupan. Sehingga perhatian pada ibu hamil dan bayi di bawah 2 tahun harus dilakukan secara cermat, mulai dari pemberian gizi dan lainnya.
Sementara itu, Wakil Bupati Banjarnegara Syamsudin mengatakan, meski terjadi penurunan kasus yang cukup signifikan, penanganan stunting di Kabupaten Banjarnegara masih perlu upaya lebih.
“Target nasional angka stunting di tahn 2024 ini cukup besar, yakni 14 persen. Kita harus bekerja keras dan kalau bisa angka untuk Banjarnegara di bawah itu,” katanya.
Meski stunting bukan merupakan penyakit, tetapi tidak boleh dipandang sebelah mata. Anak dengan kondisi stunting cenderung memiliki kecerdasan lebih rendah dibandingkan anak yang tumbuh dengan optimal. Untuk itu harus ada penanganan yang serius oleh semua pihak.
“Ini menjadi perhatian karena dapat berakibat pada penurunan kualitas sumber daya manusia di masa yang akan datang,” ujarnya.
Oleh karena itu, butuh sistem penanganan yang terpadu dan terintergasi, sehingga penanganan masalah stunting ini dapat berjalan optimal.
“Dari ini butuh komitmen bersama, mulai dari mengampanyekan perubahan perilaku, konvergensi program, gizi, hingga pemantauan dan evaluasi. Ini bukan hanya menjadi tugas Pemkab, tetapi butuh dukungan nyata dari lintas sektor,” ujarnya.