SERAYUNEWS- Pemerintah Republik Indonesia melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029 menempatkan pembudayaan hidup sehat sebagai fondasi penting dalam pembangunan sektor kesehatan.
Tidak lagi sekadar anjuran moral, gaya hidup sehat kini menjadi strategi nasional untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, mengurangi beban penyakit, dan memperkuat produktivitas bangsa.
Untuk memastikan keberhasilannya, pemerintah menetapkan empat indikator utama guna mengukur sejauh mana budaya hidup sehat telah diterapkan masyarakat.
Keempat indikator ini mencerminkan perubahan sikap, perilaku, literasi, serta dukungan sistem dan lingkungan yang menunjang gaya hidup sehat.
Melansir laman Dinas Kesehatan Aceh Timur, berikut kami sajikan ulasan selengkapnya mengenai pertanyaan apa indikator utama untuk mengukur keberhasilan pembudayaan hidup sehat dalam RPJMN 2025–2029?
Indikator pertama adalah tingkat aktivitas fisik penduduk berusia di atas 10 tahun. Pemerintah mengadopsi standar WHO, yakni setiap individu sebaiknya melakukan aktivitas fisik ringan hingga sedang selama minimal 150 menit per minggu.
Aktivitas tersebut tidak harus berupa olahraga berat. Kegiatan seperti berjalan cepat, senam ringan, naik-turun tangga, bersepeda, atau pekerjaan rumah tangga aktif, termasuk ke dalam kategori ini.
Semakin tinggi persentase masyarakat yang rutin bergerak aktif, maka semakin besar pula peluang keberhasilan pembudayaan hidup sehat.
Indikator ini mencerminkan kesadaran masyarakat bahwa aktivitas fisik merupakan bagian penting dari pola hidup sehat dan pencegahan penyakit tidak menular seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit jantung.
Indikator kedua berkaitan dengan literasi kesehatan masyarakat, yang diukur menggunakan instrumen HLS-ID 16. Literasi kesehatan mencerminkan kemampuan individu dalam:
1. Mengakses informasi kesehatan yang benar dan valid,
2. Memahami isi panduan medis atau gaya hidup sehat,
3. Menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Target pemerintah adalah meningkatnya jumlah masyarakat yang memiliki literasi kesehatan pada tingkat “sufficient” (cukup) dan “excellent” (unggul).
Masyarakat tidak hanya tahu istilah seperti “gizi seimbang” atau “imunisasi”, tapi juga mengerti arti dan manfaatnya serta menerapkannya secara sadar dan konsisten.
Literasi yang baik sangat penting dalam era digital, di mana arus informasi begitu deras dan tidak semuanya akurat. Masyarakat yang melek informasi kesehatan akan lebih bijak dalam mengambil keputusan terkait gaya hidup dan pengobatan.
Indikator ketiga adalah perubahan perilaku konkret dalam kehidupan sehari-hari. Pemerintah menilai sejauh mana masyarakat telah mengadopsi kebiasaan hidup sehat melalui berbagai survei nasional, seperti Susenas (Survei Sosial Ekonomi Nasional) dan Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar).
Beberapa perilaku yang dinilai antara lain:
1. Mencuci tangan dengan sabun sebelum makan dan setelah buang air besar,
2. Mengonsumsi buah dan sayur secara rutin,
3. Tidak merokok, terutama di lingkungan keluarga dan publik,
4. Rutin memeriksakan tekanan darah dan kadar gula minimal satu kali dalam setahun.
Perilaku sehat yang sudah menjadi kebiasaan merupakan indikator kuat bahwa budaya hidup sehat telah menjadi norma sosial di tengah masyarakat, bukan hanya pengetahuan yang mengendap tanpa aksi.
Indikator keempat atau terakhir adalah kondisi lingkungan dan sistem yang menunjang perilaku hidup sehat. Sebab, perubahan individu tidak akan bertahan lama jika tidak disertai oleh dukungan sistemik.
Beberapa tolok ukur lingkungan dan sistem kesehatan yang digunakan dalam RPJMN 2025–2029 meliputi:
1. Angka Harapan Hidup Sehat (HALE) mencerminkan kualitas hidup dalam kondisi sehat.
2. Akses layanan primer seperti Puskesmas, Posyandu, dan Klinik Satelit.
3. Cakupan imunisasi dasar lengkap bagi anak-anak.
4. Ketersediaan sanitasi layak dan air bersih.
5. Penurunan prevalensi obesitas, perokok aktif, dan hipertensi.
Ketika sistem dan infrastruktur kesehatan memadai, masyarakat akan lebih mudah menjalani dan mempertahankan kebiasaan sehat.
Misalnya, jika Puskesmas aktif melakukan promosi kesehatan dan skrining penyakit, maka deteksi dini akan meningkat dan angka kesakitan menurun.
Setiap indikator tersebut berfungsi sebagai penunjuk arah bagi pemerintah dan masyarakat dalam upaya mewujudkan bangsa yang lebih sehat. Aktivitas fisik dan perubahan perilaku dapat menekan angka penyakit kronis.
Literasi kesehatan membantu masyarakat memilah informasi medis yang akurat. Dukungan lingkungan memastikan perilaku sehat tidak hanya dilakukan oleh segelintir orang, tetapi menyebar secara kolektif dan berkelanjutan.
Lebih jauh, indikator keberhasilan ini menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk mengendalikan Penyakit Tidak Menular (PTM) yang kini menjadi ancaman terbesar bagi usia produktif masyarakat Indonesia.
Jika tidak dikendalikan, PTM dapat berdampak pada tingginya biaya perawatan kesehatan dan menurunnya produktivitas nasional.
Pembudayaan hidup sehat bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan nasional. RPJMN 2025–2029 telah menyusun indikator yang terukur dan menyeluruh untuk memastikan bahwa hidup sehat menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia.
Dengan pendekatan yang berfokus pada aktivitas fisik, literasi kesehatan, perubahan perilaku, dan sistem pendukung, Indonesia memiliki fondasi kuat untuk membangun generasi sehat, tangguh, dan berdaya saing di masa depan.