Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPN) APTI Soeseno mengatakan, dampak regulasi cukai terus mencekik petani tembakau. Tahun 2020 kenaikan cukai tercatat paling tinggi terhitung rerata 23% dengan rata-rata HJE naik 35%. Tak bisa dihindari faktor ini membuat harga rokok naik. Permintaan pabrikan menurun sangat drastis. Dampaknya, banyak petani sangat terpukul pada masa panen tahun ini. Sedangkan industri sektor ini, merupakan industri padat karya.
“IHT perlu mendapatkan perhatian pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya, agar sektor ini mampu bertahan dan survive di masa sulit akibat corona. Mengingat IHT terus memberikan kontribusi signifikan terhadap perekonomian,” katanya, saat acara Penguatan Kelembagaan dan Rembuk Tani Tembakau, sekaligus pelantikan 6 DPC APTI di Purbalingga, Kamis (3/12/2020) siang.
Kondisi yang serba sulit ini, memaksa industri rokok harus melakukan efisiensi. Dampaknya jumlah serapan bahan baku tembakau. Padahal, industri tembakau diibaratkan sebagai tulang punggung pendapatan negara.
“Hingga akhir April 2020, realisasi penerimaan negara dari bea dan cukai naik 16,17 persen, mencapai Rp 57,66 triliun atau 24,65 persen dari APBN. Penerimaan cukai yang meningkat disumbang oleh penerimaan cukai hasil tembakau sebesar 25,08 persen,” katanya.
Dia menambahkan, khusus penerimaan cukai hasil tembakau (CHT), pada 2018 nilainya sebesar Rp 152,9 triliun atau berkontribusi sebesar 95,8% dari total pendapatan cukai. Angka penerimaan CHT menunjukkan tren peningkatan pada 2018, yakni naik 3,5% dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pada 2019, diproyeksikan penerimaan CHT meningkat 3,9% menjadi Rp 158,9 triliun dan dalam RAPBN 2020 penerimaan dari sektor ini diproyeksikan tumbuh 8,2%.
“Selain berkontribusi terhadap pendapatan negara, sektor ini juga aktif membantu penyerapan tenaga kerja. Komposisinya terdiri dari 4,28 juta adalah pekerja di sektor manufaktur dan distribusi, serta sisanya 1,7 juta bekerja di sektor perkebunan,” kata dia.
Dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) untuk penanganan dan pencegahan Covid-19 juga menjadi sorotan petani tembakau. Harapannya, ada alokasi DBHCHT yang semestinya dikembalikan ke petani tembakau sebagaimana mandat UU Cukai.
“Pandemi corona bukan hanya sekadar bencana kesehatan, pandemi juga memukul aktivitas sosial dan ekonomi di berbagai sektor seperti pasar keuangan, supply chain, industri hingga melemahkan daya beli masyarakat,” kata Soeseno.
Sementara itu, kepala Dinas Pertanian Purbalingga Muqaddam menyampaikan, di wilayah Kabupaten Purbalingga luasan lahan tembakau masih relatif kecil. Harapannya, setahap demi setahap, Budi daya tembakau akan meningkat. Sehingga sektor komoditas ini bisa menjadi alternatif bagi peningkatan kesejahteraan petani.
“Minimal Budi daya tembakau menjadi alternatif petani. Luasan tembakau di Purbalingga masih kecil baru 13 hektare. Sedangkan di Purbalingga, PT GMIT menjadi bagian industri besar tembakau,” kata dia.