SERAYUNEWS- Pesan Bung Hatta mengingatkan kita yang sedang ribut dengan isu food estate yang dianggap gagal.
Pesan Bung Hatta soal lumbung pangan, “Agar perut rakyat terisi, kedaulatan rakyat perlu ditegakkan. Rakyat hampir selalu lapar bukan karena panen buruk atau alam miskin, melainkan karena rakyat tidak berdaya”
Ada yang kita lupa lakukan, pemberdayaan masyarakat. Petani tidak menjadi sebagai subyek, pelaku utama. Akan tetapi, hanya jadi penonton bahkan jadi tamu di rumah sendiri.
Jadi, tepat apa yang Cawapres Paslon 01 Muhaimin Iskandar (Cak Imin) katakan bahwa food estate mengabaikan petani dan masyarakat adat.
“Kita sangat prihatin upaya pengadaan pangan nasional dilakukan melalui Food Estate. Itu terbukti mengabaikan petani kita, meninggalkan masyarakat adat, menghasikan konflik agraria, bahkan merusak lingkungan. Ini harus dihentikan,” ungkap Cak Imin di Debat Cawapres 2024 di JCC Senayan, Jakarta (21/1/2024).
Cak Imin secara sederhana menganggap food estate secara nama saja sudah susah petani pahami.
Food estate ternyata artinya adalah kawasan lumbung pangan dalam skala luas. Jika tentang itu, kenapa pemerintah tidak belajar dari petani? Kenapa pemerintah tidak memanfaat kearifan lokal?
Apa ada contohnya? Ada. Datanglah ke Desa adat Kasepuhan Ciptagelar yang ada di Sukabumi, Jawa Barat.
Warga Kasepuhan Ciptagelar mayoritas hidup dari budidaya padi, yang mana sendi dari kehidupan adat berdasar pada kalender siklus padi.
Setiap panen masyarakat menyisihkan hasil panen sebesar 10% dan menyimpannya di leuit atau lumbung padi.
Mungkin, hanya di desa ini kita akan menemui padi yang usianya sudah ratusan tahun.
Capres Paslon 02 Prabowo Subianto mengatakan bahwa persoalan pangan adalah masalah hidup mati bangsa dan merupakan masalah strategis yang tidak bisa diperdàgangkan. Prabowo menganggap neoliberalisme yang membuat pangan dibisniskan, karena semua dianggap free market.
“Memang free market benar tapi hak dasar masyarakat itu tidak boleh diperdagangkan,” ucap Prabowo di acara Dialog Capres Bersama Kadin: Menuju Indonesia Emas 2045 di Jakarta (12/12024).
Jika Prabowo baru sebatas ucapan, masyarakat Kasepuhan Ciptagelar sudah lama menjalaninya. Mereka tidak pernah menjual beras.
Menurut kepercayaan mereķa, menjual beras berarti sama dengan menjual kehidupan sendiri. Masyarakat sekitar percaya bahwa padi merupakan lambang kehidupan.
Meskipun masyarakat Kasepuhan Ciptagelar menjungjung tinggi warisan budaya, mereka tidak menjauhkan diri dengan teknologi.
Justru, masyarakat memperkuat budayanya dengan memanfaatkan teknologi dan berkomunikasi dengan budaya luar.
Masyarakat desa tersebut mempunyai saluran televisi sendiri yaitu CIGA TV dan saluran radio bernama Radio Swara Ciptagelar.
Saluran televisi CIGA TV menayangkan keseharian masyarakat sekitar seperti bertani. Sementara itu, saluran radio berisi berita atau lagu-lagu tradisional Sunda.
Saluran-saluran tersebut mereka gunakan untuk bisa berkomunikasi dan bisa masyarakat sekitar nikmati. Jadi, masyarakat bisa memanfaatkan teknologi dan tidak ketinggalan jaman.
Tak hanya itu, layaknya smart city yang menggunakan renewable energy, Kasepuhan Ciptagelar memanfaatkan aliran sungai dan panas matahari untuk menghasilkan energi listrik.
Melalui turbin yang berasal dari empat PLTMh, mereka terbebas dari gelapnya malam.
Kembali ke soal beras, Dhandy Laksono, pendiri rumah produksi Watchdoc, mengatakan Kasepuhan Ciptagelar tetap bisa hidup tanpa suplai dari Badan Urusan Logistik (Bulog).
“Bulog hanya bisa memiliki cadangan beras untuk delapan bulan, sementara Ciptagelar dengan 8 ribu lumbung padi masih bisa menyediakan ketersediaan beras untuk 29 ribu penduduknya dan generasi berikutnya,” jelas Dhandy sebagaimana dilansir di akun Youtube RedaksiJubi (17/8/2024).
Jadi, kembali ke pesan Bung Hatta, masalah pangan hanya selesai jika rakyat berdaya, bukan melalui proyek mercusuar.
Belajarlah food estate dari Kasepuhan Cipta Gelar. Kearifan lokal yang mengajarkan kita, bahwa semua tempat adalah sekolah dan semua orang adalah guru.*** (O Gozali)