SERAYUNEWS— Naiknya harga beras membuat banyak orang kebingungan, seolah menguatkan pendapat lama, belum makan kalau tanpa nasi.
Orang Jawa menyebut nasi dengan kata sego atau sega. Orang Sunda menyebutnya sangu. Semuanya adalah istilah turunan dari sagu yang dulu lebih akrab sebagai makanan pokok orang Nusantara.
Hal ini Nadirman Haska, Pakar Bioteknologi dan Agroteknologi, ungkapkan. Di tahun 2015 ia menyatakan bahwa beras bukan makanan asli orang nusantara. Beras baru dikenal di masa kerajaan, tepatnya saat pedagang dari India bawa. Hal ini terbukti dengan peninggalan sejarah di Candi Borobudur berupa pahatan atau relief yang sama sekali tidak menunjukkan adanya padi, beras, atau nasi.
Relief palma kehidupan di candi ini menunjukkan kelapa alias nyiur, aren, sagu, serta lontar. Keberadaan relief ini meyakinkan Haska kalau makanan asli Indonesia adalah sagu.
“Sagu itu makanan asli Indonesia. Terpahat jelas di relief Candi Borobudur. Saat Hindu masuk, orang India membawa beras ke sini,” ujar Nadirman (31/12/2015).
Pendapat tersebut berbeda dengan penjelasan Robert Cribb dan Audrey Kahin dalam buku Kamus Sejarah Indonesia mengatakan, tanaman padi tumbuh liar secara alami di daratan utama Asia Tenggara. Budidaya tanaman ini diperkirakan telah ada sejak 6000 SM (Sebelum Masehi). Budidaya tertua ada di Ulu Leang di Sulawesi sekitar 3500 SM.
Menurut Robert Cribb dan Audrey, padi mungkin menjadi sumber makanan pokok Sriwijaya, tetapi sayangnya tidak muncul dalam relief-relief Candi Borobudur. Hal ini menunjukkan adanya makanan pokok lainnnya pada waktu itu, termasuk sagu.
Jika ada sagu kenapa kemudian beras jadi makanan pokok? Pertanyaan mendasar ini dijawab Sejarawan Universitas Padjadjaran Bandung, Fadly Rahman. Menurutnya, beras tak bisa lepas dari politik dan kekuasaan.
Dalam dialog sejarah “Keberagaman Pangan di Nusantara: Menggali Akar Silam Citarasa Indonesia,” 26 Maret 2021 di saluran Youtube Historia, Fadly menyebut bahwa akar ketergantungan terhadap beras bisa dilacak sejak zaman Kerajaan Mataram. Kala itu, beras menjadi salah satu simbol keberhasilan raja dalam memimpin.
“Kewibawaan seorang raja, seorang penguasa, itu ditentukan dari keberhasilan penguasa dalam memakmurkan kebutuhan pangan rakyat yang notabene itu adalah beras,” kata Fadly.
Menurut Fadli, kebijakan politik Orde Baru banyak mangadopsi pola kekuasaan Kerajaan Mataram, salah satunya yang berorientasi pada beras.
Akhirnya, hegemoni beras sebagai makanan pokok menyingkirkan keragaman pangan lokal Indonesia terjadi sejak zaman Mataram hingga Orde Baru, dengan pola berulang.
Padahal, Indonesia sebenarnya masih memiliki banyak potensi pangan lokal.
Misalnya, sagu yang banyak tumbuh di Indonesia timur hingga palawija yang tersebar di berbagai daerah. Ada juga umbi-umbian umum seperti singkong dan ubi, hingga buah berkarbohidrat seperti sukun dan labu kuning.
Masyarakat Papua dan Maluku misalnya, kita kenal sebagai konsumen sagu. Kemudian, masyarakat Nusa Tenggara mereka biasa mengonsumsi jagung dan sorgum. Adapula masyarakat Sulawesi Utara yang menjadikan pisang gapi sebagai makanan pokok.
Akan tetapi, program beras-isasi yang Pemerintah Soeharto keluarkan mengubah konsumsi bahan pangan pokok masyarakat semula beragam, menjadi satu jenis, yakni beras. Nah, sudah siap mengganti makanan pokok?*** (O Gozali)