SERAYUNEWS – Mulai 1 Januari 2025, pemerintah akan resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen.
Kebijakan ini merupakan implementasi dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan bahwa tujuan utama dari kenaikan ini adalah untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, kebijakan ini memicu pro dan kontra di tengah masyarakat.
Meskipun pemerintah menyatakan kenaikan PPN ini bertujuan positif, sebagian masyarakat menilai langkah ini akan memperberat beban hidup, terutama dalam kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi Covid-19.
Salah satu bentuk protes dari masyarakat adalah pembuatan petisi yang dimulai pada 19 November 2024.
Petisi ini diinisiasi oleh kelompok “Bareng Warga” dan ditujukan langsung kepada Presiden Republik Indonesia untuk menolak kenaikan PPN 12%.
Protes ini mengemuka karena dampak kenaikan PPN diprediksi akan memengaruhi harga barang kebutuhan pokok, seperti sabun mandi dan Bahan Bakar Minyak (BBM).
Lonjakan harga ini tentu akan memperburuk daya beli masyarakat yang sudah tertekan akibat pemulihan ekonomi yang lambat.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024, Indonesia masih menghadapi angka pengangguran terbuka yang cukup tinggi, yaitu sekitar 4,91 juta orang.
Dari total 144,64 juta penduduk yang bekerja, sebagian besar (57,94 persen) merupakan pekerja di sektor informal, dengan jumlah mencapai 83,83 juta orang.
Situasi ini menunjukkan bahwa mayoritas masyarakat masih berada dalam kondisi ekonomi yang rentan.
Dengan kenaikan PPN, harga barang diperkirakan akan terus meroket, sehingga daya beli masyarakat bisa menurun drastis.
Kondisi ini dapat memperburuk kesenjangan ekonomi dan meningkatkan ketergantungan masyarakat pada pinjaman online, yang berpotensi menambah beban finansial.
Melihat kondisi ini, sejumlah pihak mendesak pemerintah untuk meninjau ulang kebijakan kenaikan PPN.
Meskipun tercantum dalam UU HPP, langkah ini dianggap tidak tepat waktu mengingat banyak masyarakat yang masih berjuang untuk pulih secara ekonomi.
Peninjauan ulang kebijakan ini penting untuk mencegah dampak negatif lebih lanjut, seperti penurunan daya beli yang signifikan dan peningkatan tekanan sosial ekonomi.
Pemerintah diharapkan dapat mencari solusi alternatif yang lebih adil dan tidak memberatkan rakyat, demi menjaga stabilitas ekonomi nasional.
***