SERAYUNEWS- Istilah Rojali (Rombongan Jarang Beli) dan Rohana (Rombongan Hanya Nanya) kini ramai menjadi perbincangan publik, khususnya pengguna media sosial.
Istilah Rojali dan Rohana ini menjadi simbol krisis konsumsi masyarakat di tengah maraknya aktivitas belanja yang beralih dari transaksi ke sekadar rekreasi.
Menurut Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy, fenomena ini menandai perubahan tajam dalam pola konsumsi masyarakat.
“Mal kini ramai pengunjung, tetapi sepi transaksi. Belanja kini bukan prioritas utama, bahkan untuk kalangan menengah atas,” ujarnya dalam keterangannya, Minggu, 27 Juli 2025.
Menurut Dr Ash-Shiddiqy, Ketua Umum Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) menyebut bahwa kelompok atas menahan belanja karena ketidakpastian global.
Sementara kelas bawah dan menengah terpukul karena daya beli yang terus melemah.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) kuartal I 2025 mencatat pertumbuhan konsumsi rumah tangga hanya 4,8 persen, turun dibanding rata-rata 5,2 persen sebelum pandemi.
Harga bahan makanan naik hampir 2 persen, sementara upah riil stagnan, membuat masyarakat memilih menunda belanja atau sekadar melihat-lihat.
“Fenomena ini bukan semata perubahan gaya hidup, tapi juga refleksi kondisi ekonomi yang makin ketat,” tegas Dr. Ash-Shiddiqy.
Dalam Islam, konsumsi tidak sekadar soal kebutuhan, tetapi bagian dari ibadah. Prinsip maslahah (manfaat), tawazun (keseimbangan), dan hisab (pertanggungjawaban) menjadi landasan.
Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Furqan:67:
“Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebih-lebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian.”
Namun, bila masyarakat menahan konsumsi bukan karena kesadaran spiritual melainkan terpaksa, maka ini adalah sinyal krisis ekonomi, bukan perbaikan moral konsumsi.
Ketika transaksi offline melemah, jualan online justru melesat.
Data Katadata Insight Center 2024 menunjukkan 84,5 persen konsumen Indonesia berbelanja online minimal sekali sebulan, dan 52 persen UMKM mengandalkan kanal digital.
Platform seperti Shopee, Tokopedia, TikTok Shop, dan Instagram Live Shopping menjadi magnet perdagangan baru. Fenomena ini disebut social commerce, perpaduan jualan dan interaksi sosial.
Meskipun praktis dan efisien, jualan online membawa tantangan etis, terutama dari kacamata ekonomi syariah:
1. Overpromosi dan tipuan digital, termasuk testimoni palsu dan harga jebakan.
2. Konsumen impulsif akibat diskon dan live streaming non-stop.
3. Ketimpangan digital antara pelaku UMKM desa dan reseller kota.
Etika Pemasaran Syariah: Solusi di Era Digital
Ekonomi Islam tidak cukup hanya menjual produk halal, tetapi juga menuntut proses dan niat yang halal. Prinsip utama dalam pemasaran syariah antara lain:
1. Sidq (jujur) dalam foto dan deskripsi produk.
2. Amanah dalam pengiriman dan kualitas barang.
3. ‘Adl (adil) dalam harga dan transaksi.
4. Kepedulian sosial, agar usaha tidak merugikan pihak lain.
“Ekonomi syariah harus lebih dari sekadar algoritma penjualan. Ia harus hadir sebagai solusi dengan membawa nilai-nilai spiritual dan sosial, bukan hanya mengejar cuan,” papar Dr. Ash-Shiddiqy.
UMKM muslim memiliki peluang besar sekaligus tanggung jawab dakwah dalam jualan online. Strategi yang dapat dikembangkan antara lain:
1. Marketplace syariah berbasis komunitas, seperti koperasi digital yang mengelola stok dan distribusi halal.
2. Pelatihan etika bisnis syariah di pesantren dan komunitas.
3. Fitur rating halal dan etika pada aplikasi jualan online.
Dengan begitu, pelaku usaha tidak hanya mengejar profit, tapi juga keberkahan. Konsumen pun akan merasa tenang secara materi dan spiritual.
Fenomena Rojali dan Rohana bukan sekadar canda atau tren iseng. Ini cermin melemahnya daya beli dan perubahan perilaku konsumsi yang belum diantisipasi oleh sistem pemasaran saat ini.
Ekonomi syariah harus hadir sebagai jawaban. Bukan hanya agar dagangan laku, tapi agar transaksi membawa keadilan, kepercayaan, dan keberkahan.
“Dari Rojali, kita belajar kehati-hatian. Tapi dari Islam, kita diajak menjadi Rijāl al-Iqtishād, pelaku ekonomi bernilai,” tutup Dr. Ash-Shiddiqy.