SERAYUNEWS– Bayangkan Anda memesan makanan lewat aplikasi, dan dalam waktu singkat kurir mengantarkannya ke depan pintu. Perumpamaan lain, Anda butuh desain logo untuk usaha, lalu menemukan freelancer yang siap bekerja dari jarak jauh.
Semua ini adalah contoh nyata dari gig economy sebuah sistem ekonomi yang mengandalkan pekerjaan sementara, kontrak jangka pendek, dan sering kali berbasis platform digital.
Melansir artikel Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto, Dr Muhammad Ash-Shiddiqy, istilah gig awalnya berasal dari dunia musik.
Ini merujuk pada pertunjukan satu kali atau proyek jangka pendek yang diambil oleh musisi. Dalam konteks modern, gig economy mencakup berbagai jenis pekerjaan.
Mulai dari pengemudi ojek online (Gojek, Grab, Uber), kurir makanan (ShopeeFood, GoFood, Foodpanda), hingga pekerjaan kreatif seperti penulis, desainer grafis, pengembang web, dan asisten virtual.
Ciri utama gig economy adalah:
1. Pekerjaan Jangka Pendek: Bersifat proyek atau kontrak lepas.
2. Platform Digital: Pekerjaan ditawarkan lewat aplikasi atau situs web.
3. Fleksibilitas Tinggi: Pekerja bisa mengatur waktu dan lokasi.
4. Pekerja Independen: Tidak terikat hubungan kerja formal jangka panjang.
Dr Ash-Shiddiqy menyebut, bagi banyak orang, gig economy menawarkan fleksibilitas dan peluang memperoleh penghasilan tambahan.
Seorang karyawan kantoran bisa menjadi pengemudi ojek online di malam hari. Mahasiswa bisa mengerjakan proyek desain grafis di sela kuliah.
Di sisi perusahaan, menggunakan pekerja gig menurunkan biaya tenaga kerja karena tidak perlu memberi tunjangan atau membayar pesangon.
Namun, fleksibilitas ini memiliki harga yang mahal. Banyak pekerja gig tidak memiliki jaminan sosial, jaminan kesehatan, atau pensiun.
Penghasilan sering tidak menentu, tergantung jumlah pesanan atau proyek yang masuk.
Di beberapa kasus, pekerja menghadapi eksploitasi bayaran rendah, biaya operasional yang harus ditanggung sendiri, dan tidak ada perlindungan hukum yang memadai.
Fenomena ini disebut oleh para ekonom sebagai informalisasi pekerjaan, di mana pekerjaan yang sebelumnya bersifat formal dengan perlindungan hukum beralih menjadi hubungan kerja lepas tanpa jaminan.
Dia menjelaskan, dalam perspektif ekonomi ala Madani, yang berakar pada prinsip keadilan, keberlanjutan, dan perlindungan hak-hak masyarakat, gig economy menimbulkan dilema moral.
Ekonomi Madani menekankan tiga prinsip utama:
1. Keadilan Distribusi
Islam mengajarkan bahwa setiap orang berhak memperoleh rezeki secara layak, tanpa eksploitasi. “Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya…” (QS. Asy-Syu’ara: 183).
Dalam konteks gig economy, ini berarti pekerja harus mendapatkan bayaran yang adil dan sebanding dengan usaha serta biaya yang mereka keluarkan.
2. Perlindungan Kaum Lemah
Nabi Muhammad SAW bersabda: “Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya.” (HR. Ibnu Majah).
Sistem gig economy yang membayar terlambat, atau memotong pendapatan pekerja tanpa alasan jelas, jelas bertentangan dengan prinsip ini.
3. Keseimbangan antara Pasar dan Solidaritas Sosial
Ekonomi Madani tidak menolak mekanisme pasar, tetapi menuntut adanya regulasi dan mekanisme solidaritas agar pasar tidak menindas pihak yang lebih lemah.
Jika prinsip-prinsip ini diabaikan, gig economy berpotensi menciptakan kelas pekerja rentan (precariat) mereka yang terus bekerja keras namun hidup dalam ketidakpastian ekonomi.
Indonesia adalah salah satu pasar gig economy terbesar di Asia Tenggara.
Data dari Google- Temasek- Bain (2023) menunjukkan bahwa sektor on-demand services seperti transportasi online dan pengantaran makanan mengalami pertumbuhan tahunan dua digit.
Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat peningkatan proporsi pekerja informal, yang sebagian besar berasal dari sektor gig economy.
Tantangannya jelas:
1. Regulasi yang Masih Kabur: Apakah pekerja gig dianggap karyawan atau kontraktor independen?
2. Tidak Ada Perlindungan Sosial Otomatis: BPJS Ketenagakerjaan atau BPJS Kesehatan tidak otomatis diberikan.
3. Persaingan Tinggi dan Tekanan Harga: Banyaknya pekerja membuat tarif sering ditekan.
Dari perspektif Ekonomi Madani, ada beberapa langkah yang bisa diambil oleh pemerintah, perusahaan, dan masyarakat:
1. Regulasi yang Melindungi Pekerja
Perlu ada aturan jelas yang mewajibkan platform memberikan perlindungan minimal bagi pekerja, seperti asuransi kecelakaan kerja dan jaminan kesehatan.
2. Model Bagi Hasil yang Adil
Platform digital harus transparan soal pembagian pendapatan, agar tidak terjadi potongan berlebihan dari upah pekerja.
3. Pendidikan Keterampilan Berkelanjutan
Pemerintah dan LSM dapat menyediakan pelatihan gratis agar pekerja gig dapat meningkatkan keterampilan, sehingga punya opsi pekerjaan yang lebih stabil.
4. Koperasi Digital Berbasis Syariah
Pekerja gig bisa membentuk koperasi yang mengelola tabungan, asuransi, dan pelatihan, sehingga ada jaring pengaman sosial.
5. Etika Konsumen
Masyarakat sebagai pengguna layanan juga punya peran: menghargai pekerja, memberi tip yang layak, dan tidak memanfaatkan celah harga murah yang merugikan mereka.
Pertanyaan besar pun muncul: Adakah kepastian masa depan bagi pekerja gig?
Dalam sistem ekonomi yang hanya mengutamakan efisiensi dan fleksibilitas, kepastian memang sulit dicapai.
Namun, dengan kerangka ekonomi ala Madani yang menyeimbangkan kebebasan pasar dengan tanggung jawab sosial gig economy dapat menjadi sumber rezeki yang adil, bukan jebakan kemiskinan baru.
Seperti pesan Khalifah Umar bin Khattab, “Bukanlah kemuliaan itu pada banyaknya harta, tetapi pada sedikitnya kebutuhan dan terjaminnya hak-hak manusia.”
Jika prinsip ini dipegang, maka fleksibilitas gig economy bisa berjalan seiring dengan kepastian masa depan bagi para pekerjanya.