SERAYUNEWS – Baru-baru ini, viral sebuah video di media sosial (medsos), memperlihatkan sebuah penggrebekan yang ibu kos lakukan terhadap salah satu kamar penuh dengan tumpukan sampah.
Kuat dugaan, penghuni kamar kos tersebut mengidap penyakit mental bernama hoarding disorder. Penggrebekan yang videonya akun TikTok @siskavizar bagikan pada Senin (15/7/2024) itu pun viral.
Lantas, apakah perilaku seseorang yang memiliki dugaan mengidap hoarding disorder termasuk gangguan jiwa? Berikut serayunews.com sajikan pendapat salah satu pakar dalam artikel di bawah ini.
Sebelumnya, semua bermula pada saat bertemu dengan penghuni kost yang bersangkutan, tercium bau yang mengakibatkan orang mual-mual. Kemudian, muncul kecurigaan saat aroma sampai keluar kamar walaupun dalam kondisi tertutup.
Dalam unggahan tersebut, tampak sang ibu kos dan penjaga kos mendatangi kamar. Keduanya pun kaget saat melihat kondisi dalam kamar yang penuh dengan tumpukan sampah dan benda-benda berserakan.
Sebut saja mulai dari lemari, kasur, sampai dengan lantai kamar itu penuh dengan tumpukan barang yang tercampur dengan sampah. Tidak kuasa menahan aroma bau yang tak sedap dari dalam ruangan, ibu kos pun berupaya menutup hidungnya.
Berikutnya, melansir dari laman um-surabaya.ac.id, Pakar Keperawatan Jiwa UM Surabaya Uswatun Hasanah memberikan tanggapan atas pengidap hoarding disorder.
Menurut Uswatun, hoarding disorder atau gangguan menimbun barang merupakan kondisi di mana individu memiliki dorongan kuat untuk menyimpan barang-barang yang dia anggap penting, tapi bagi orang pada umumnya bukanlah hal penting.
“Hal ini ditandai dengan perilaku yang sulit berpisah atau membuang barang-barang tersebut,” ujar Uswatun dikutip serayunews.com pada Kamis (18/7/2024).
Sontak, menilik uniknya perilaku hoarding, banyak orang kemudian yang menanyakan apakah perilaku ini termasuk dalam masalah gangguan jiwa atau tidak?
Pada tahun 2013, American Psychiatric Association mengakui bahwa menimbun barang merupakan gangguan unik di antara gangguan spektrum obsesif-kompulsif yang telah tercatat dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM).
Penegakan diagnosis dapat dilakukan dengan memenuhi dua dari enam aspek yang terdapat dalam manual tersebut, tentunya perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut secara spesifik dan detail.
Jadi, Dosen di Fakultas Ilmu Kesehatan (FIK) UM Surabaya ini menuturkan, melihat fakta bahwa hoarding disorder merupakan salah satu masalah gangguan mental, tentunya penyelesaian masalah tersebut tidak cukup hanya dengan mengatakan, “Tinggal buang dan bersihkan masa gak bisa?”
Hal tersebut tidak dapat kita terapkan. Erich Fromm telah menggambarkan bahwa orientasi penimbunan berkaitan dengan keamanan seseorang bergantung pada pengumpulan dan penyimpanan benda-benda tersebut.
“Oleh sebab itu, untuk menangani atau mengontrol perilaku tersebut, penderita hoarding disorder harus mendapatkan penanganan yang tepat dari profesional kesehatan jiwa baik melalui pemberian obat-obatan psikofarmaka maupun psikoterapi,” tandas Uswatun.
***