
SERAYUNEWS – Momentum akhir tahun sering kali diiringi dengan suasana perayaan Natal bagi umat Kristiani.
Salah satu tradisi yang melekat kuat dalam momen ini adalah kegiatan bertukar kado atau pemberian hadiah kepada kerabat, tetangga, hingga rekan kerja.
Dalam lingkungan masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia, tidak jarang umat Muslim menerima pemberian tersebut sebagai bentuk penghargaan dan jalinan silaturahmi.
Namun, fenomena ini kerap memicu pertanyaan mendasar di kalangan Muslim: Bagaimana sebenarnya hukum menerima hadiah Natal dalam perspektif Islam?
Apakah hal tersebut merupakan bentuk toleransi yang diperbolehkan, atau justru termasuk dalam kategori mengikuti perayaan agama lain yang dilarang?
Secara sosiologis, pemberian hadiah dari non-Muslim kepada Muslim bertujuan untuk mempererat tali persaudaraan dan menghormati keberagaman.
Namun, secara teologis, umat Islam diminta untuk berhati-hati agar tidak terjerumus dalam perkara syubhat—yakni perkara yang samar antara halal dan haramnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) secara umum mengimbau umat Islam untuk tetap menjaga akidah dengan tidak ikut serta dalam ritual perayaan agama lain.
Meski demikian, dalam hal hubungan sosial (muamalah), terdapat ruang diskusi yang cukup luas di kalangan para ahli fikih mengenai batas-batas interaksi yang diperbolehkan.
Secara mendasar, mayoritas ulama berpandangan bahwa menerima pemberian dari non-Muslim hukumnya adalah mubah atau boleh.
Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa menerima hadiah adalah bagian dari muamalah atau interaksi antarmanusia, selama hadiah tersebut tidak berkaitan langsung dengan ritual peribadahan yang menyimpang dari akidah Islam.
Merujuk pada literatur seperti buku Kumpulan Tanya Jawab Islam, menerima kado di hari Natal diperkenankan selama tidak memicu rasa mahabbah (kasih sayang) yang berlebihan hingga melampaui batas kecintaan kepada Allah SWT.
Hadiah tersebut hendaknya dipandang sebagai objek duniawi semata, bukan sebagai bentuk pengakuan atas kebenaran keyakinan pemberinya.
Sejarah Islam mencatat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang sangat menghargai hubungan antarmanusia.
Beliau pernah menerima hadiah dari tokoh-tokoh non-Muslim di zamannya. Salah satu contoh yang masyhur adalah pemberian dari Raja Al-Muqawqis, penguasa Mesir yang beragama Kristen, serta hadiah jubah dan keledai putih dari Raja Aylah.
Hadis-hadis ini menunjukkan bahwa Islam tidak menutup diri dari kebaikan pihak luar. Selama hadiah yang diberikan adalah barang yang suci (halal secara zat) dan tidak digunakan untuk tujuan maksiat, maka tidak ada halangan syar’i untuk menerimanya.
Meski secara hukum asal diperbolehkan, kelompok ulama dari kalangan sufi cenderung lebih berhati-hati atau wara’.
Tokoh sufi terkemuka, Al-‘Aarif Ibn ‘Athoillah, mengingatkan bahwa hati manusia memiliki kecenderungan alami untuk mencintai orang yang berbuat baik kepadanya.
Kekhawatirannya adalah jika hadiah tersebut membuat seorang Muslim merasa “berhutang budi” secara spiritual kepada non-Muslim, yang dikhawatirkan dapat melunturkan keteguhan akidahnya.
Oleh karena itu, bagi mereka yang khawatir hatinya akan terpengaruh, menolak dengan cara yang santun jauh lebih diutamakan.
Berbeda dengan posisi menerima, hukum memberi hadiah kepada non-Muslim tepat di hari raya mereka memicu perbedaan pendapat yang lebih tajam.
Banyak ulama melarang tindakan ini karena dianggap sebagai tasyabbuh (menyerupai) atau memberikan dukungan terhadap perayaan keagamaan mereka.
Jika hadiah yang diberikan berupa simbol-simbol keagamaan seperti lilin natal, dekorasi, atau makanan khas yang menjadi bagian dari ritual ibadah, maka mayoritas ulama mengharamkannya.
Hal ini ditegaskan dalam kitab Tabyin al-Haqaiq yang menyebutkan bahwa memberikan kado pada festival non-Muslim bisa jatuh pada kategori haram, bahkan dalam tingkat yang ekstrem bisa mengancam status keimanan jika disertai dengan keridaan atas kekafiran tersebut.
Demikian informasi tentang hukum menerima hadiah Natal dari non-muslim.***