SERAYUNEWS— Isra Mikraj diperingati umat Islam sedunia setiap tahunnya pada penanggalan kelender Hijriah di bulan Rajab (ke tujuh) malam ke-27. Tahun ini bertepatan dengan tanggal 8 Februari 2024.
Isra Mikraj berarti perjalanan Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram (Mekah) ke Masjidil Aqsa (Yerusalem). Kemudian, dari Yerusalem ke Sidratul Muntaha (langit ketujuh) di mana Rasulullah menerima perintah salat lima kali dalam sehari. Peristiwa ini pula mendudukkan wilayah Yerusalem sangat penting dan disucikan bagi umat Islam dunia, selain sebagai kiblat pertama juga berkaitan dengan peristiwa yang Rasulullah alami.
Semua ajaran dan dogma agama yang melangit itu harus mampu membumi secara kontekstual. Sejatinya, agama untuk manusia bukan untuk Tuhan.
Dengan cara pandang itu, peristiwa ini harus dapat kita tafsirkan tidak saja soal religiusitas-trasendental esoterik, tetapi juga realistis-aktual dan profan.
Dalam konteks itu, sabda langit baru dapat mewujud dan berguna sebagai ‘hudan’ petunjuk manusia dalam menjalani kehidupan dunia.
Oleh karena itu, tak mengherankan, beberapa daerah memiliki tradisi perayaan Isra Mikraj yang berbeda-beda sesuai dengan kearifan lokalnya .
Di Nusa Tenggara Barat, terdapat tradisi Nyaer, tradisi lisan pembacaan hikayat yang berkembang pada masyarakat suku Sasak di Pulau Lombok.
Hikayat tersebut menggunakan bahasa Melayu aksara Arab. Kitabnya adalah kitab Nur Muhammad atau paling lazim yakni Kifayatul Muhtaj. Kitab ini menceritakan tentang kisah Peristiwa Isra Mikraj, yang terjadi pada malam 27 Rajab tahun ke-10 kenabian.
Di Cirebon, ada tradisi Rajaban. Awalnya, ziarah atau berkunjung ke makam para wali, ulama, dan para tokoh penyebar Islam dengan mengharap keberkahan.
Setelah itu, ada kenduri yaitu jamuan makan bersama masyarakat sebagai ungkapan syukur dengan hidangan khas nasi bogana. Kemudian, kegiatan berakhir dengan melakukan pengajian.
Di Yogyakarta, perayaannya dengan melakukan tradisi Rejeban Peksi Buraq. Tradisi ini sudah berusia ratusan tahun.
Nama tradisi ini berasal dari nama burung yang menjadi kendaraan Nabi Muhammad saat melakukan perjalanan ke langit ketujuh, Buraq. Masyarakat membuat dua jenis buraq dari kulit jeruk bali. Kemudian, mereka memasangnya di atas gunungan buah-buahan.
Abdi dalem Kaji Selusin Gunungan akan membawanya menuju serambi Masjid Gede Kauman. Nantinya, mereka membagikan gunungan buah tersebut kepada jemaah masjid setelah pengajian.
Kemudian masyatakat Siwarak, Gunungpati, Semarang merayakannya dengan tradisi Nyadran. Masyarakat berbondong-bondong berkunjung ke makam-makam leluhur dan berdoa.
Selanjutnya, mereka mengadakan pengajian di Masjid Baitul Muslimin Siwarak. Menariknya, ada keseruan karnaval meramaikan acara ini.
Di Jepara, masyarakat melakukan tradisi Malam Beratan. Perayaan ini dilakukan Kecamatan Kalinyamatan dan Kecamatan Pecangaan, Kabupaten Jepara.
Warga setempat akan membuat lampion dan berbagai kreasi mobil-mobilan yang terbuat dari kerangka bambu berlapis kertas minyak transparan.
Anak-anak kecil dan muda-mudi biasanya pawai keliling kampung untuk ikut memeriahkan malam Beratan ini.
Masih banyak tradisi lainnya. Semua meyakinkan bahwa agama kita yakini datang dari langit, sedangkan tradisi tumbuh dari bumi. Namun, setiap agama yang hadir di bumi pasti akan bertemu dan menyatu dengan tradisi lokal.
Semua agama besar di Indonesia datangnya dari luar, datang ke sini dengan kendaraan bermacam-macam. Ada yang datang bersama pedagang, ada pula yang beriringan dengan imperialis. Bersama jalannya waktu, agama yang asalnya dari luar telah tumbuh menyatu dengan budaya dan tradisi lokal.*** (O Gozali)