SERAYUNEWS – Dani, pria berusia 40 tahunan, duduk termenung dengan pandangan kosong. Tahun sebelumnya, setiap tanggal sepuluh Agustus sudah pulang kampung dengan wajah ceria.
Tidak dengan tahun ini. Tumpukan bendera merah putih yang dijualnya masih banyak tergelatak di atas jok motor.
“Balik modal saja sudah allhamdulllah,” katanya saat ditemui di tempatnya berjualan di Jalan Raya Solo samping Kantor Bea Cukai Bersama dengan delapan orang anak buahnya dia masuk Kota Yogyakarta menggelar dagangannya dipinggir jalan yang dianggap strategis.
Dani bercerita, tahun-tahun sebelumnya dari usaha ini setiap tahunnya bisa menghasilkan 200 sampai 300 juta. Menurutnya, tahun ini keramaian peringatan 17 Agustus sebenarnya lebih meriah dibanding tahun kemarin, dan berarti jumlah permintaan bendera, umbul-umbul dan rumbay meningkat.
Tetapi karena ada banyak pedagang online yang menjual bendera jauh dibawah harga pasar menjadikan usahanya terdampak. Dengan semangat, Dani menunjukan video yang katanya viral di tik-tok, berisi seorang pedagang bendera menangis karena dagangannya masih banyak, dagangannya tidak laku karena ada pedagang online.
Sambil bercucuran air mata, pedagang di video itu minta Presiden Jokowi memperhatikan nasib mereka. Menyikapi ini, Dani berpendapat boleh saja dagang bendera lewat on-line, tetapi jangan menjatuhkan harga pasaran yang ada. Pria tegap yang tidak mau difoto tetapi mau ditulis namanya ini berkeyakinan bahwa setelah sampai di kampunganya Garut, pasti akan ramai membahas masalah ini.
Dani berpendapat pedagang bendera on-line pasti membeli bendera tersebut dari kampung halamannya lantas kenapa menjual tidak sesuai harga pasaran. Memang benar, di kampungnya Dani, para pedagang bendera ini sudah terorganisir. Mereka memiliki Asosiasi Pengusaha Bendera Merah Putih yang beranggotakan lebih dari 4000 Pengrajin Bendera, pengusaha pemodal dan pedagang. Usaha bendera ini berada di Kematan Leles dan Kedungora, bahkan pada tahun 2022 telah diresmikan Monumen Pengrajin Bendera Merah Putih Asli Garut oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil.
Isu pengaruh pedagang on-line pasti akan dibahas oleh Asosiasi. ] Bisnis bendera merah putih ini bender aini telah ditekuni warga sejak tahun 1970-an, bahkan sebenarnya mulai tahun 1958 warga sudah memulai membuat bendera merah putih sendiri. Semua dimulai dari Kampung Babakan Sari, Desa Leles, Kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat, yang kemudian dikenal dengan nama kampung bendera merah putih asal Garut.
Lokasi kampung ini tidak jauh, hanya berjarak sekitar 100 meter dari Pasar Leles. Jika kita memasuki kampung ini, akan terlihat banyak ornamen bernuansa merah putih dipasang di hampir seluruh rumah di Kampung Babakan Sari. Para pengrajin di kampung ini memproduksi berbagai macam bendera secara home industry dan menggunakan mesin jahit berukuran kecil. Hampir semua warga terlibat dalam bisnis ini.
Mulai dari pemilik modal, penjahit, hingga penjual yang berterbaran di berbagai propinsi. Saat ini produk Kampung Babakan Sari lebih beragam tidak hanya bendera. Produk turunan berupa umbul-umbul, banner, backdrop pun diproduksi di sini, namun dengan dominasi nuansa yang sama. Merah dan putih. Pada akhirnya, sudah menjadi siklus hidup warga di Lelas dan Kedungora, apa pun profesinya saat ini menjelang perayaan 17 Agustus, maka semua akan meninggalkan kampung halamannya untuk berjualan bendera.
Menurut Dani, teman-teman sekampungnya banyak menyebar dihampir seluruh Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Bali sampai Sulawesi dan Papua.
“Pokoknya semua pulau kalau ketemu pedagang bendera hamper dipastikan itu orang Garut,” ujarnya.
Rombongan para penjual bendera ini pun beragam, berkisar antara 4-10 orang, mereka menyewa kamar kos-kosan selama 1 bulan untuk ditempati selama tinggal di Lumajang. Dan mereka baru pulang kampung ketika tanggal 10 -15 Agustus. Biasanya, jelas Dani, tanggal 10 Agustus keuntungan sudah ditangan.
Tinggal sisa-sisa bendera yang akan dibawa pulang untuk disimpan sebagai tabungan dan akan dijual pada tahun berikutnya. Lantas, apakah benar penjual bendera on-line mempengarui pendapatan pedagang bendera musiman di pinggir jalan? Melalui sambungan telepon, diperoleh informasi dari pedagang bendera di Jayapura Papua yang juga pedagang musiman asal pulau Jawa, ternyata pedagang online tidak mempengaruhi pendapatan di sana karena mungkin ongkos kirim ke Papua yang mahal.
Sambil menghisap rokoknya dalam-dalam, Dani bercerita bahwa dulu di Kota Yogyakarta semua pedagang berasal dari kampungnya Garut. Tetapi sejak tahun kemarin sudah ada pedagang bendera yang berasal dari daerah Madura. Dia tidak mempermasalahkan itu, karena harga jualnya juga sama. Dani mengekuh karena pedagang bendera on-line menjualnya jauh dari harga pasar.
“Coba bayangkan, mereja jual bendera dengan harga 8.500 rupiah, sedang kami menjualnya di harga 15,000 sampai 20.000,” ujarnya.
Dahulu bisnis bendera menurutn karena Covid, sekarang menurun karena on-line, begitu Dani menyimpulkan. Tetapi tetap dengan semangat dia berkeyakinan bahwa usaha bendera Merah Putih akan terus ditekuni sebagai profesi warisan leluhur mereka. Apa pun yang terja mereka tetap akan menyatukan kain dua warna berbeda menjadi Sang Saka Merah Putih.*** (Osario Gozali)