Purbalingga, serayunews.com
Seorang perempuan renta duduk di sudut ruangan. Cahaya matahari menembus jendela kaca yang tak terlalu jernih. Namun mampu memberi tenang pada ruang 3×2 meter. Sejumlah karung plastik berisi kapuk berjajar. Alat pintal tradisional di hadapannya.
Sertimah meluruskan kaki, meletakan kaki kiri di atas kaki kanannya. Mendapatkan posisi duduk paling nyaman, penting baginya yang akan berjam jam duduk.
Nenek 70 tahun ini, merupakan satu di antara puluhan Warga Tumanggal yang masih mempertahankan tradisi Ngantih, poses memintal kapuk menjadi benang dengan alat tradisional yang disebut Jantra.
Tangan kanan Sertimah memegang bagian jantra. Di tangan kirinya memegang lipatan kapuk. Tatapan matanya bergerak dari ujung benang di Jantra, menuju kapas yang ada di tangannya. Bak seorang penari, semua bagian bergerak tak seirama. Jantra diputar tidak terlalu cepat, dengan irama tetap. Fungsinya agar tidak memutus rajutan benang.
“Waktunya ya ngga tentu, tapi setiap hari pasti melakukan,” katanya.
Tumpukan-tumpukan kapuk, perlahan berupah menjadi gulungan benang. Satu gulungan memiliki berat 1/4 kg kapuk. Rata-rata dalam seharinya, Sertimah bisa menuntaskan 3 sampai 4 gulungan.
“Per kilonya dikasih upah Rp25 ribu,” ujarnya sembari tetap memintal.
Kapuk yang jadi bahan baku benang, dipasok oleh bu kades. Nantinya, rajutan benang juga akan kembali diambil oleh bu kades. Sistem kerja yang dijalani Sertimah adalah upah.
“Kapuk dikirimi bu lurah, nanti kalau sudah jadi benang diambil lagi,” kata dia.
Sejenak pikirannya melambung ke masa lalu. Di mana dia dan warga Tumanggal lain, sudah melakukan kegiatan pintal benang sejak lama. Dahulu, para perajin membeli kapuk sendiri. Mereka membeli bahan baku di wilayah Kecamatan Karangmoncol. “Kalau dulu beli sendiri di Karangmoncol,” kata dia.
Kemampuan memintal benang itu diperoleh otodidak. Sejak Sertimah muda, dia sudah akrab dengan aktifitas Ngantih. Orang tuanya dulu juga melakukan aktifitas yang sama. Sehingga, turun-temurun ke anak anaknya.
“Ngantih di Tumanggal ya sudah lama banget, saya juga diajari oleh orang tua saya dulu,” kata dia.
Saat ini, para perajin benang di Tumanggal rata-rata sudah berusia senja. Regenerasi tidak terjadi seperti saat dia muda dulu. Tidak sedikit anak muda sekarang, lebih memilih bekerja di pabrik rambu. “Yang muda ya ngga ada, sudah banyak pabrik idep (bila mata, red),” kata dia.
Tak bisa dipungkiri, jika kondisi seperti itu. Pasalnya, menjadi karyawan pabrik dirasa lebih menjanjikan secara penghasilan. Sedangkan ngantih yang sama-sama perlu ketekunan, nilainya tak seberapa.
Mungkin beda cerita jika dari benang yang dipintal, bisa diproduksi lagi menjadi barang yang memiliki nilai lebih tinggi. Sayangnya produk Tumanggal sebatas benang.
“Kalau dulu masih bikin Kluwung (seperti jarit tapi lebih sempit, red), tapi sekarang kan tidak ada yang pakai Kluwung lagi,” kata dia.
Aktifitas ngantih juga masih dilakukan oleh Ruswadi (40). Puluhan tahun dia sudah melakukan aktifitas itu. Seperti Sertimah, ngantih saat ini lebih untuk mengisi waktu senggang saja. Dia juga mitra dari bu lurah seperti Sertimah.
“Lha dari pada ngga ngapa-ngapain, mending saja bisa ada kesibukan dan dapat uang,” kata dia.
Dia yang asli warga Tumanggal juga mengaku, kemampuan Ngantih didapat dari turun temurun keluarganya. Sewaktu dia gadis, dia sudah biasa mengantih untuk membantu orang tuanya.
“Ya dari sejak gadis sudah diajari Ngantih,” ujarnya.
Kesempatan berbeda, Surati, Kepala Desa Tumanggal mengungkapkan, benang antih sampai sekarang tetap ada peminatnya. Tekstur dan bahannya yang unik membuat kain Tumanggal digandrungi dan bisa menembus pasar Amerika.
Kades yang juga generasi kedua pembuat benang antih ini menambahkan, adanya permintaan cukup banyak, akan menambah pengalaman usahanya. Bahkan di saat wabah Corona ini.
Dia juga mengakui, adanya pandemi Covid-19 cukup menghambat pemasaran kain tumanggal, khususnya ke Bali. Meskipun demikian, hal ini tidak menjadi penghalang bagi pengrajin benang antih dan penenun kain Tumanggal untuk tetap memproduksi kain.