Dhaka, Bangladesh | Serayunews.com – Patung berbentuk bunga matahari, ikan, sapi, dan burung jalak diarak belasan kilometer di jalan sekitar Universitas Dhaka Bangladesh. Penduduk Dhaka menyemut di pinggir jalan menyambut arak-arakan itu sejak pagi hari.
Parade itu adalah perayaan tahun baru orang Bangladesh atau Bengali yang dikenal dengan sebutan Pohela Boishakh. Hari pertama kalendar orang Bengali dimulai setiap 14 April. Di beberapa etnis lain memulai kalendernya pada 15 April.
“Pohela Bhoishakh perayaan terbesar di Bangladesh,” kata Amir Minhaj warga Dhaka asal Chittagong Bangladesh kepada Serayunews.com pada Sabtu lalu.
Pohela Boishakh bertepatan dengan Tahun Baru Tamil, Malayali, Punjabi, Oriya, Bihari, Sinhala, Assamese, Lao, Kamboja, Thailand, dan Myanmar. Struktur Kalender Bengali mirip dengan Kalender Vikramaditya, yang digunakan orang India Utara dan Timur. Kalender Bengali dimulai pada tahun 593 M.
Pada zaman Kaisar Mughal Akbar, perayaan Pohela Boishakh dimulai sebagai awal pengumpulan pajak. Pohela Boishakh merupakan bentuk akulturasi budaya Islam dan Hindu. Orang Bangladesh yang 88 persen muslim merayakan Pohela Boishakh bersama penganut Hindu. Pohela Boishakh serupa dengan orang Jawa di Indonesia yang memulai kalendernya pada 1 Suro.
Di perayaan pohela boishakh, ribuan orang berpakaian tradisional panjabi (laki-laki) dan shari (perempuan). Corak pakaian mereka didominasi warna merah dan putih. Sebagian mengelir wajah mereka. Laki-laki dan perempuan saling bergandengan membentuk lingkaran dan berjoget. Mereka menari mengikuti alunan musik yang diputar lewat pengeras suara yang tersebar di setiap perempatan jalan besar.
Kami, dua kontributor Serayunews.com asal Cilacap, ikut membaur dengan ribuan orang Dhaka yang tumpek blek di jalanan merayakan tahun barunya. Kedatangan kami di Bangladesh dalam rangka penyaluran bantuan kemanusiaan kepada pengungsi Rohingya di sebelah selatan Cox’s Bazaar Bangladesh. Sebelum menuju Cox’s Bazaar, kami singgah di Dhaka, Ibu Kota Bangladesh. Kami tiba di Bandar Udara Hazrat Shahjalal Dhaka pada Sabtu pukul dua dini hari 14 April lalu.
Petugas imigrasi Bangladesh tersenyum mendengar kami datang ke Dhaka untuk melihat Pohela Boishakh. Petugas imigrasi, yang sebelumnya berwajah tegang saat mengecek paspor dan visa, mendadak menggelengkan kepalanya mendengar kami menjawab tujuan berkunjung ke Bangladesh untuk melihat Pohela Boishakh.
“Hai lihat, ini orang Indonesia mau ikut Pohela Boishakh,” kata salah satu petugas kepada rekannya.
Kami tidak sedang mengecoh petugas. Kami sudah berencana mengikuti perayaan budaya Bengali ini sejak mendapatkan informasi dari rekan kami asal Dhaka tentang Pohela Boishakh. Selepas berkemas dan istirahat sebentar di hotel, kami mendatangi perayaan Pohela Boishakh dengan mengendarai mobil.
Kami berangkat dari hotel pukul tujuh pagi. Waktu di Bangladesh lebih lambat satu jam ketimbang waktu Indonesia barat. Dua kilometer dari pusat perayaan jalanan ditutup, belasan tentara mengokang senjata tersebar di area blokade.
Tentara bersenjata tersebar di jalanan Dhaka. Semua orang yang membawa tas besar atau kecil digeledah, termasuk kami. Pengamanan ketat terlihat saat parade arak-arakan. Barisan terdepan adalah barikade polisi anti huru-hara dengan persenjataan lengkap. Beberapa pos pemantau sementara ala militer juga dibangun di pinggir jalan yang berisi 3-4 tentara yang menenteng binokular. Tentara ini terus meneropong ke arah ribuan orang yang menyemut.
Amir Minhaj, warga Dhaka yang menemani kami, mengatakan pengamanan ketat merupakan langkah pemerintah Bangladesh merespon situasi keamanan Dhaka yang memburuk setelah rangkaian bom oleh tetoris pada tahun lalu. Salah satu bom meledak saat perayaan Pohela Boishakh tahun lalu. Akibatnya perayaan Pohela Boishakh dibatasi hingga pukul lima sore.
“Tahun lalu perayaan digelar hingga pukul sembilan malam,” katanya.
Akbar (Dhaka, Bangladesh)