Cilacap, Serayunews.com
Pegiat sejarah Cilacap sekaligus ketua komunitas Tjilatjap History Riyadh Ginanjar Widodo menyebutkan, berdasarkan catatan harian Belanda di Cilacap pada tahun 1832 tepatnya setelah setahun dari diberlakukannya Tanam Paksa, atau setelah Banyumas diserahkan oleh Surakarta ke Belanda pada 1830, sudah terlihat kegiatan ekspor komoditas di Pelabuhan Cilacap yang merupakan barang dagang dari wilayah Banyumas Raya, Priangan Timur dan wilayah Wonosobo.
“Pelabuhan Cilacap dipilih oleh Belanda karena cukup strategis, dimana memiliki laut cukup dalam di sekitar dermaga. Serta memiliki arus air yang tenang karena dilindungi Pulau Nusakambangan dari hantaman ombak besar pantai selatan,” terangnya.
Dikatakannya, karena semakin banyak komoditas yang di ekspor melalui Pelabuhan Cilacap, maka Pemerintah Kolonial melakukan pengembangan dan pembangunan pelabuhan secara lebih modern di tahun 1859. Dari situlah Pelabuhan Cilacap melayani perdagangan besar. Sehingga Pelabuhan Cilacap sering disebut juga sebagai pintu belakang Pulau Jawa, lantaran dianggap pintu depannya berada di Pelabuhan Jakarta, Cirebon, Semarang dan Surabaya.
“Dengan semakin ramainya kegiatan di pelabuhan, membuat perusahaan kereta api milik pemerintah yaitu Staatsspoorwegen atau SS membangun jalur sampai dengan masuk ke dalam pelabuhan. Hingga membuat banyak kantor dagang didirikan di pelabuhan ini. Bahkan pabrik gula Rembun dan pabrik gula Ijo memiliki gudang disana,” jelasnya.
Bahkan untuk mempermudah oprasional kereta api, kata dia, Staatsspoorwegen membuat stasiun khusus barang di dalam kompleks pelabuhan yang beroperasi pada
1887. Tak ayal peningkatan kapasitas produksi di masing-masing wilayah juga dilakukan. Seperti halnya gula di Banyumas, kopi di Purbalingga, tembakau di Wonosobo dan karet di Cilacap bagian barat dan sekitaran Ciamis.
“Secara ekonomi di wilayah-wilayah ini terjadi peningkatan, namun penikmatnya tentu para pejabat Kolonial. Sedangkan penderitaan banyak dirasakan oleh penduduk pribumi. Tak terkecuali penduduk Cilacap yang bekerja sebagai buruh pabrik dan pelabuhan,” ujar pria lulusan Institut Seni Indonesia Surakarta ini.
Riyadh meneruskan cerita, kondisi ini berlangsung sampai dengan tahun 1942, lantaran Jepang mulai menduduki Cilacap. Sehingga situasi mulai berbalik. Dimana para orang Belanda mencoba melarikan diri dari invasi Jepang melalui Pelabuhan Cilacap. Bahkan setelah seluruh pelabuhan di utara Jawa dikuasai Jepang, hanya tinggal Pelabuhan Cilacap lah satu-satunya tujuan orang Belanda untuk menyelamatkan diri.
“Situasinya saat itu sangat rumit, kereta api mondar-mandir menurunkan penumpang. Jip dan Truk berdatangan dari berbagai kota, bahkan terlihat banyak perempuan membawa anaknya dengan pakaian lusuh. Suatu pemandangan yang sangat berbeda dari sebelumnya,” kata dia.
Disebutkan, hingga tiba puncaknya pada 27 Februari 1942 Jepang membombardir beberapa titik strategis di Kota Cilacap. Serangan itu dilancarkan lewat udara, misalnya di Pelabuhan Cilacap, kemudian di Stasiun Cilacap pun menewaskan 200 orang. Semuanya merupakan dalam satu rangkaian kereta api dari Surabaya. Serangan udara juga terjadi di atas Stasiun Sampang yang juga menyisakan banyak korban jiwa.
“Belum lagi beberapa kapal selam Jepang sudah berjaga-jaga di perairan Cilacap. Pasukan darat juga mulai merangsek masuk dari sisi timur. Tercatat terdapat sebayak 25 kapal evakuasi, namun hanya 12 kapal yang selamat sampai ke Australia. Sehingga kala itu Cilacap dijuluki sebagai Dunkrik Of The Dutch Indies atau Dunkrik dari Hindia Belanda, lantaran sama-sama kota pelabuhan yang menjadi tempat evakuasi,” katanya.