SERAYUNEWS– Peristiwa malari atau malapetaka 15 Januari 1974 merupakan momen perlawanan terhebat dan perdana terhadap rezim orde baru dengan penggerak para kaum intelektual muda yang berujung pada bentrokan serta kerusuhan masal.
Peristiwa itu sendiri terjadi karena ketidakpuasan mahasiswa atas kebijakan pemerintah yang tidak berpihak kepada rakyat. Apalagi, marak terdengar isu masuknya pemodal asing dalam progam pembangunan nasional yang presiden canangkan.
Gerakan dan protes mahasiswa pada saat itu sangat berapi-api dan kian menjadi karena datangnya Jan P. Pronk sebagai perwakilan pemodal dari Amerika Serikat pada tanggal 13 November 1973. Kemudian, kejadian itu memuncak pada tanggal 15 januari 1974 saat perdana menteri Jepang Tanaka Kakuei datang ke Indonesia.
Pada 15 Januari 1974 mahasiswa kembali turun ke jalan, untuk menuntut ketidaksetaraan penanaman modal asing yang menguntungkan kelompok tertentu, pemberantasan korupsi, dan tingginya harga kebutuhan pokok. Selain tiga tuntutan tersebut, mahasiswa juga menuntut pembubaran Aspri Presiden Soeharto.
Aksi yang awalnya damai berubah menjadi rusuh. Kerusuhan semakin melebar dengan aksi gabungan antara mahasiswa dan masyarakat. Pengrusakan dan pembakaran utamanya menyasar kendaraan buatan Jepang. Kantor Astra yang terkenal sebagai importir kendaraan Jepang juga mendapat amukan massa. Menjelang sore, kerusuhan semakin meluas hingga Pasar Senen. Pusat pertokoan terbesar di Jakarta saat itu mengalami perusakan dan penjarahan.
Hingga kerusuhan mereda pada 16 Januari 1974, tercatat 11 orang meninggal, 177 mengalami luka berat, 120 luka ringan, dan 755 orang mengalami penahanan. Sementara itu, 807 mobil dan 187 sepeda motor rusak atau dibakar, 144 bangunan dan 1 pabrik rusak atau terbakar, serta sejumlah 160 kg emas hilang kena jarah.
Peristiwa Malari, meski tidak berhasil menggulingkan pemerintahan Orde Baru, tetapi membuka jalan bagi pergeseran dalam dinamika politik dan sosial di Indonesia. Dampaknya terus kita rasakan dalam perkembangan sejarah politik Indonesia selanjutnya, hingga aksi mahasiswa skala besar berikutnya terjadi pada 1998 yang kemudian berujung pada jatuhnya Orde Baru.
Karena itu budayawan Emha Ainun Nadjib berkeberatan peristiwa ini orang sebut malapateka. Dalam caknun.com tanggal 15 Januari 2008 dia menulis di kolom tajuk dengan judul “Ma RI wa La RI”, disingkat: MALARI.
Berikut penggalan tulisannya.
Tidak ada Malapetaka 15 Januari.
Gerakan 15 Januari adalah shock theraphy.
Untuk RI yang sudah mulai parah penyakitnya.
Malari adalah nomenklatur diagnosis penguasa.
Yang tidak merasa sakit dengan penyakitnya.
Yang merasa sehat dalam sakitnya
Lepas dari itu, malari mempertegas tugas sejarah mahasiswa, yaitu membenahi negeri. *** (O Gozali)