Komoditi beras merupakan bahan pangan pokok bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan memiliki peran yang strategis dalam ketahanan pangan, ketahanan ekonomi, serta stabilitas politik nasional. Komoditas beras di pedesaan telah menjadi simbol status sosial ekonomi rumah tangga. Meskipun telah mencapai swasembada beras, namun ketersediaannya masih fluktuatif dan belum bersifat permanen sehingga impor beras untuk cadangan pangan tentunya masih diperlukan. Meskipun adanya tren untuk beralih dari konsumsi beras ke gandum, akan tetapi konsumsi beras di Indonesia cenderung selalu meningkat bersamaan dengan populasi yang terus bertambah.
Konsumsi beras nasional di Indonesia termasuk yang tertinggi di dunia mencapai 29,13 juta ton pada tahun 2017. Angka tersebut diprediksi akan mengalami peningkatan hingga 31,7 juta ton pada tahun 2045 seiring dengan perkembangan populasi yang kian meningkat. Berlawanan dengan peningkatan tersebut, produksi beras di Indonesia justru turun dalam beberapa tahun terakhir. Perpaduan meningkatnya permintaan dan menurunya produksi tentunya akan berpotensi menyebabkan semakin besarnya ketidakseimbangan antara pasok beras dan permintaan yang ada.
Indonesia memenuhi sebagian besar dari kebutuhan berasnya secara domestik, tetapi masih mengimpor beras untuk melengkapi produksi domestik. Pada tahun 2019, Indonesia memproduksi 33,5 juta ton beras giling serta mengimpor 44,508 ton beras, yang artinya hampir semua beras yang ada di Indonesia masih diproduksi secara domestik (BPS, 2018). Rantai pasok domestik di Indonesia tentunya menjadi sangat penting untuk mendapatkan pasok beras yang stabil, terjangkau serta mudah di akses. Namun, sistem distribusi beras domestik yang tidak efisien dianggap menjadi salah satu penyebab utama tingginya harga beras di Indonesia. Setidaknya distribusi beras melewati empat hingga enam pihak dan hal tersebut mengakumulasi biaya transaksi di setiap fase proses distribusi sebelum akhirnya mencapai konsumen (Respatiadi & Nabila, 2017). Kondisi geografis Indonesia sebagai negara kepulauan yang besar dengan infrastruktur yang kurang memadai juga berkontribusi dalam kerumitan rantai pasok beras. Setiap wilayah memiliki proses yang berbeda-beda serta menyebabkan sebuah rantai pasok beras yang cukup rumit. Umumnya, proses distribusi antara petani dan pembeli melibatkan tengkulak, penggiling, penjual grosir dan penjual ritel.
Sebagai pelaku utama dalam rantai pasok beras, petani tidak selalu menjamin petani menerima keuntungan tertinggi. Kebanyakan petani di area teririgasi menjual seluruh hasil panen selama musim hujan untuk menutup biaya bertani, dan menjual hanya setengah dari panen mereka saat musim kemarau untuk menyimpan stok konsumsi pribadi. Pendapatan dari penjualan tersebut kemudian digunakan untuk membiayai masa tanam berikutnya. Selain itu, pendapatan petani kebanyakn juga bergantung pada harga farmgate beras karena mereka tidak mengeluarkan biaya untuk transportasi, karena biasanya transaksi dilakukan di tengah sawah. Dengan tingkat pendidikan yang umumnya rendah, petani tentunya memiliki kesulitan untuk mengadopsi teknologi baru serta mengumpulkan informasi dari pasar. Selain itu, mereka juga tidak dapat mengakses pasar secara langsung ketika menjual hasil panen mereka, sehingga mereka harus bergantung pada tengkulak.
Tengkulak merupakan pemain yang cukup penting dalam rantai pasok karena mereka menghubungkan petani dan penggiling padi. Hasil penelitian Al Ayyubi (2016) menjelaskan bahwa para petani dekat dengan tengkulak karena mereka seringkali menawarkan harga yang lebih tinggi dari pada perum Bulog yang membeli padi mereka dengan harga pembelian pemerintah. Di satu sisi, tengkulak dipandang sebagai pemain yang dianggap membantu petani dengan pinjaman yang cepat yang tentunya dibutuhkan para petani untuk membeli keperluan pertanian dan hal tersebut tentunya membuat petani akan tergantung pada tengkulak. Konsekuensinya adalah tengkulak dapat mencegah petani mengetahui harga pasar serta mengasingkan mereka dari mekanisme pasar. Dari tengkulak ini rantai produksi beras berlanjut ke penggiling padi, penjual grosir, penjual ritel, dan kemudian berakhir di konsumen.
Mengatur jumlah pihak-pihak yang terlibat dalam rantai distribusi dan pemrosesan beras yang diproduksi secara domestik sebetulnya tidak diinginkan, karena pihak penengah yang terlibat ini tentunya diperlukan untuk menghubungkan petani dengan konsumen. Dalam hal ini, tentunya peran Bulog diperlukan untuk membantu memastikan ketahanan pangan dengan cara terlibat dalam rantai pasok domestik. Namun tentunya terdapat tantangan tersendiri baik di tingkat hulu maupun tingkat hilir. sebagai solusi praktis jangka pendek untuk menurunkan harga beras dan meningkatkan efektivitas Perum Bulog maka monopoli Perum Bulog untuk impor beras kualitas menengah harus dihapuskan. Perusahaan swasta harus bisa mengakses sistem perizinan otomatis dan mengimpor beras kualitas menengah ke Indonesia.