
SERAYUNEWS– Banjir bandang dan tanah longsor yang dalam beberapa minggu terakhir melanda berbagai wilayah di Sumatera, mulai dari Sumatera Utara, Sumatera Barat, hingga Aceh menjadi bukti bahwa bencana ekologis kini bukan lagi peringatan, melainkan kenyataan yang berulang.
Deforestasi, alih fungsi hutan, dan tata ruang yang mengabaikan daya dukung lingkungan menjadi akar persoalan yang tak kunjung diselesaikan.
Di tengah situasi krisis ini, sastra hadir bukan sekadar sebagai hiburan, tetapi sebagai alarm budaya yang mengingatkan manusia agar tidak terus-menerus mengabaikan alam.
Melansir artikel Prof. Kholid Mawardi, Guru Besar Bidang Sejarah Kebudayaan Islam UIN Saizu Purwokerto, berikut kami sajikan ulasan selengkapnya:
Membaca kembali Ronggeng Dukuh Paruk karya Budayawan Ahmad Tohari dalam perspektif ekologis memberi kita kesadaran baru.
Novel yang selama ini dikenal sarat kritik sosial dan budaya ternyata menyimpan pesan penting tentang bagaimana kerusakan lingkungan dapat melahirkan kerentanan hidup dan derita manusia.
Tohari menampilkan Dukuh Paruk bukan hanya sebagai desa miskin, tetapi sebagai desa yang tanahnya telah kehilangan kesuburan; sungai yang tak lagi menjanjikan kehidupan; dan masyarakat yang tidak lagi memiliki pilihan selain bertahan dalam kepapaan.
Lingkungan yang terdegradasi itu membentuk pola hidup yang rapuh. Ketika tanah tak lagi menghasilkan, ketika air tak lagi menyuburkan, maka kesenian seperti ronggeng berubah menjadi satu-satunya sandaran ekonomi.
Kemiskinan ekologis akhirnya menjelma kemiskinan sosial dan budaya. Tohari ingin mengatakan bahwa ketika manusia merusak alam, nasib buruk yang datang bukan hanya hilangnya sumber daya, tetapi juga hilangnya martabat dan masa depan.
Apa yang digambarkan Tohari dalam skala kecil di Dukuh Paruk kini terlihat nyata dalam skala luas di Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Aceh. Banjir bandang yang menghancurkan rumah, sekolah, dan jembatan bukan sekadar akibat hujan ekstrem.
Hutan-hutan di hulu yang seharusnya menjadi penyangga air telah dibuka untuk perkebunan besar dan industri ekstraktif. Tanah yang gundul tidak mampu lagi menyerap curah hujan.
Akibatnya, air meluncur tanpa hambatan, membawa lumpur dan kayu gelondongan yang ironisnya sering menunjukkan bekas pemotongan mesin, bukan pohon tumbang alami.
Dan seperti warga Dukuh Paruk, masyarakat lokal selalu menjadi korban paling awal. Mereka sering disalahkan karena tinggal di bantaran sungai atau lereng bukit.
Padahal keputusan merusak hutan sering kali berada di meja kekuasaan, jauh dari desa yang akan menanggung akibatnya.
Kearifan lokal yang dahulu menopang kehidupan kini semakin terpinggirkan. Dalam filosofi Jawa maupun dalam tradisi masyarakat adat di Sumatera, terdapat prinsip kuat untuk menjaga hubungan harmonis antara manusia dan alam.
Ada pembagian ruang yang jelas: kawasan yang boleh diolah dan kawasan yang harus tetap menjadi kawasan pelindung. Ada nilai spiritual yang menautkan kelestarian alam dengan kelangsungan hidup manusia.
Namun modernitas yang tergesa-gesa datang dengan sikap pongah, menganggap pengetahuan lokal sebagai sesuatu yang tidak ilmiah. Padahal, kearifan lokal sudah menjadi sistem mitigasi bencana jauh sebelum istilah mitigasi sendiri diperkenalkan.
Sastra seperti Ronggeng Dukuh Paruk membantu kita mengingat kembali akar budaya yang ekologis. Ia tidak menyodorkan angka kerugian, tetapi menghadirkan empati membawa kita menyelami luka masyarakat yang kehilangan tanah dan harapan.
Novel ini mengajari kita bahwa alam bukan objek eksploitasi, melainkan subjek yang menentukan arah hidup manusia.
Bencana ekologis sesungguhnya bukan musibah tiba-tiba, melainkan konsekuensi dari pilihan manusia yang mengabaikan batas.
Maka solusi yang dibutuhkan bukan sekadar tanggul baru atau sirine peringatan, tetapi transformasi pola pikir. Merawat alam sama artinya dengan menjaga kelangsungan hidup kita sendiri.
Ahmad Tohari telah memberi peringatan sejak lama: jika alam terus diperlakukan hanya sebagai komoditas, maka kehancuran sosial akan mengikuti. Sumatera telah merasakan babak awalnya.
Pertanyaannya kini semakin mendesak: Apakah kita siap mengubah sikap, atau akan menunggu sampai semua Dukuh Paruk di negeri ini benar-benar hilang dari peta?