SERAYUNEWS – Koordinator Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Dr. Budiyono, S.H., M.Hum, menyoroti dua pasal dalam Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), yakni Pasal 12 Ayat 11 dan Pasal 111.
Menurutnya, jika kedua pasal tersebut disahkan, hal ini berpotensi menimbulkan konflik antara lembaga penegak hukum, khususnya antara kepolisian dan kejaksaan.
“Kalau sampai disahkan, ada perubahan, akan terjadi konflik dalam sistem peradilan pidana berkaitan dengan masalah kewenangan penegakan hukum antara penyidik kepolisian dengan kejaksaan yang juga sebagai penyidik juga. Ini tidak baik, kalau konflik sistem tadi, akan menimbulkan bekerja sistem tidak optimal. Malah nanti akan ada bumbu-bumbu ataupun hambatan-hambatan konflik penegak hukum ini sendiri,” kata Budiyono, Minggu (26/1/2025).
Budiyono menjelaskan bahwa Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP mengatur bahwa dalam waktu 14 hari apabila laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti oleh penyidik, maka masyarakat bisa melaporkannya ke kejaksaan.
Menurutnya, aturan ini terkesan sebagai bentuk campur tangan kejaksaan terhadap kewenangan penyidik kepolisian.
“Padahal kan jelas tugas antara kejaksaan dan kepolisian dalam penanganan pidana, kalau kita lihat di ketentuan RKUHAP. RKUHAP itu kalau kita lihat di ketentuan umum kan jelas itu, bahwa penyidik adalah pejabat kepolisian negara republik Indonesia dan pegawai negeri sipil tertentu atau pejabat lain yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan,” katanya.
Ia menambahkan bahwa kewenangan penyidikan seharusnya tetap berada di tangan kepolisian atau pejabat tertentu sesuai undang-undang. Sementara kejaksaan berperan dalam penuntutan dan pelaksanaan putusan pengadilan.
Terkait Pasal 111, Budiyono menyoroti kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan yang memiliki peran menetapkan atau memutuskan sah tidaknya penangkapan, penahanan, atau penyadapan.
Namun, dalam RUU KUHAP, jaksa juga diberi kewenangan untuk mengontrol proses penyidikan yang dinilai bertentangan dengan konsep hakim pemeriksa pendahuluan.
“Berarti kan kontrol terhadap tindakan penyidik yang tidak profesional dilakukan oleh hakim pemeriksa pendahuluan. Tapi di sini dengan adanya anggapan penyidik tidak profesional, kok jaksa ikut melakukan kontrol terhadap penyidik? Itu kan tidak sesuai dengan konsep hakim pemeriksa pendahuluan. Seharusnya menjadi kewenangan hakim pemeriksa pendahuluan. Ini menimbulkan ambiguitas dalam kontrol terhadap pelaksanaan penyidikan yang profesional,” jelasnya.
Ia juga menilai pemberian kewenangan kepada jaksa untuk mengajukan sah tidaknya penangkapan, pembatalan atau penangguhan penahanan, serta alat bukti yang diperoleh secara tidak sah, akan menimbulkan ketidaksesuaian dalam sistem peradilan pidana.
“Satu hal lagi yang agak kurang tepat dalam satu sistem peradilan yang memiliki fungsi masing-masing dalam Pasal 111, jaksa diberi kewenangan untuk melakukan itu. Mengajukan sah tidaknya penangkapan, mengajukan pembatalan atau penahanan ataupun penangguhan penahanan, mengajukan juga alat bukti atau pernyataan yang diperoleh tidak sah. Itu kan jadi kewenangan pelaku, terdakwa atau penasehat hukumnya,” ujarnya.
Budiyono berharap RUU KUHAP dapat dikaji ulang, agar tidak menimbulkan konflik dan tumpang tindih kewenangan antar lembaga penegak hukum.