SERAYUNEWS — Pada 5 maret 1909, Sutan Sjahrir dilahirkan di Padang Panjang, Sumatera Barat. Ia terlahir dari keluarga bangsawan di Minangkabau.
Ayahnya adalah Muhammad Rasad yang bergelar maharajo sutan dan ibu yang bernama Siti Rabiah. Bapaknya bekerja sebagai kepala kejaksaan pengadilan negeri.
Pada Usia 17 tahun Sutan Syahrir yang termasuk murid yang pintar melanjutkan studinya di AMS Bandung. Di usia 20 tahun Bung Sjahrir melanjutkan studinya ke negeri Belanda.
Sjahrir adalah sahabat baik Hatta. Mereka berdua pernah mengalami pengasingan bersama-sama di Banda Neira. Bertiga bersama Soekarno, mereka dijuluki Tiga Serangkai.
Sjahrirlah yang mendesak Soekarno dan Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia saat masa kekosongan kekuasaan. Di kemudian hari, Sjahrir menjadi perdana menteri pertama Indonesia pada usia 36 tahun dan begitu ahli dalam urusan diplomasi.
Sosok yang kerap mendapat panggilan Bung Kecil karena badan pendek ini juga sosok idealis. Kontribusinya untuk bangsa ini ia torehkan lewat sejumlah langkah diplomasi. Salah satunya lewat Perundingan Linggarjati yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia.
Sejak 21 tahu, Sjahrir sangat aktif mengkaji sosialisme dan marksisme. Menariknya, ia tidak memilih paham komunisme. Bung Syahrir justru mengembangkan pemikiran sosialisme kerakyatan atau sosial demokrat.
Menurutnya, konflik antar kelas tidak membuat kapitalisme runtuh, tetapi kapitalisme akan mengadopsi kepentingan buruh. Oleh karenanya, perjuangan buruh harus melalui cara yang demokratis, tidak perlu dicapai dengan cara revolusi atau ekonomi komando ala Lenin-Stalin.
Selain itu, totalisme kanan yang cenderung fasis juga harus mendapat perlawanan. Baginya, demokrasi harus kita dorong untuk mencegah kembalinya feodalisme pasca kolonialisme yang akan tetap membelenggu rakyat.
Bagi Sjahrir, perkataan kerakyatan adalah suatu penghayatan dan penegasan bahwa sosialisme seperti yang ia pahami selamanya menjunjung tinggi dasar persamaan derajat manusia.
Sebenarnya Bung Karno dan Bung Hatta juga berkeyakinan membangun masyarakat dan negeri ini atas prinsip sosialis. Namun, di antara tokoh-tokoh itu, mungkin hanya Sjahrir yang paling tegas dan nyata dalam keyakinan dan perjuangan.
Pada 19 November 1945, Sjahrir mendirikan Partai Rakyat Sosialis (Paras) kemudian partai ini bergabung dengan Partai Sosialis yang Amir Sjarifuddin ketuai. Partai inilah yang sejak November 1945 menguasai kabinet RI hingga pertengahan 1947.
Saat terjadi keretakan antara kelompok Sjahrir dan Amir Sjarifuddin, Sjahrir lalu membentuk partai baru, Partai Sosialis Indonesia (PSI), pada awal 1948. Partai itu bertahan hingga 1960, lalu Soekarno membubarkannya.
Sjahrir tetap konsisten dengan konsep sosialisme kerakyataan. Sjahrir tegas membedakan paham sosialisme yang hendak ia perjuangkan di Indonesia dengan sosialisme yang ada di Eropa Barat, maupun sosialisme dari komunis.
Kata kunci sosialisme kerakyatan adalah kemanusiaan. Kemanusiaan pula yang membuat Sjahrir tak sejalan dengan kaum komunis yang mempunyai jiwa ajaran dogmatis Stalin dan Lenin.
“Mereka menghancurkan, dalam diri mereka sendiri, jiwa serta semangat sosialisme, yaitu kemampuan menghargai kemanusiaan dan martabat manusia,” kata Sjahrir dalam pidato di Kongres Sosialis Asia II,di Bombay, India, 6 November 1956.
Dalam catatan sejarah, cita-cita sosialisme-kerakyatan Sjahrir tidak berhasil terwujud.
Ketidakberhasilan ini mungkin bukan semata- mata karena Sjahrir tergeser dari panggung politik atau karena PSI bubar. Sosialisme, apa pun namanya, hanya paham, suatu cita-cita yang masih di tingkat konsepsi.
Untuk mewujudkan cita-cita itu, ia harus menjadi operasional dan harus mendapat dukungan seperangkat institusi dan mekanisme-mekanisme tertentu. Ini bukan hal mudah. Tanpa itu, ia akan berhenti pada imbauan moral atau etis, tetapi tidak membawa perubahan apa-apa.
Salah begitu ada pembelajaran berharga dari Sjahrir. Program-program pemerintah tak boleh mengabaikan penghargaan terhadap rasa kemanusiaan, walaupun program itu mengatasnamakan kesejahteraan.
Pemberian bantuan sosial secara serampangan jelas mengabaikan penghargaan terhadap rasa kemanusiaan, karena menganggap manusia tak ubahnya pengemis dan menciptakan mentalitas pengemis.
Seperti kata Sjahrir, sebuah program pembangunan dan pemerintah haruslah penyempurnaan cita-cita kerakyatan, salah satunya kedewasaan kemanusiaan.*** (O Gozali)