SERAYUNEWS – Kala Ketua Steering Comitte (SC) Ijtima Ulama Komisi VIII, Prof KH Asrorun Niam Sholeh menyampaikan hasil Ijtima Ulama VIII yang tidak memperbolehkan adanya salam lintas agama pun masih menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat.
Terkait hal tersebut, Habib Jafar Al-Hadar memberikan tanggapan melalui unggahan di Instagram pribadinya @husein_haidar beberapa waktu lalu.
Dalam awal video, Habib Jafar menjawab pertanyaan dari salah seorang timnya. Lantas, di akhir dia menunjukkan momen salim dan menundukkan kepala ke Romo Magnis Suseno.
“Ya udah, kita salim aja ke nonmuslim, tetap toleran, kan? Bahkan lebih tuh,” kata Habib Husein dengan santai, serayunews.com mengutip pada Selasa (11/6/2024).
Melalui unggahan tersebut, Habib Jafar menjelaskan makna toleransi sebagai rasa anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa terhadap manusia, terlebih lagi sesama umat Muslim.
Menurut Habib Jafar, rasa toleransi akan sampai kepada hati orang-orang yang berbeda, baik agama atau keyakinan, melalui beragam ekspresi. Dengan catatan, orang tersebut berhati-hati dalam mengekspresikannya.
“Toleransi adalah rasa dalam hati yang dianugerahkan Tuhan pada kita, semua manusia (terlebih Muslim). Asal hati-hati, ia akan sampai ke hati mereka yang berbeda dengan kita melalui berbagai ekspresi,” tulis Habib Jafar dalam caption.
“Yang setuju pakai salam, oke. Yang tak setuju, bisa dengan salim. Tak setuju salam maupun salim, bisa dengan senyum. Sesungguhnya Islam itu mudah,” pungkas pembawa acara Login itu.
Seperti kita ketahui, Fatwa MUI ini merupakan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia yang berlangsung pada 28-31 Mei 2024. Putusan itu tentunya menjadi perhatian banyak kalangan. Pasalnya, cukup banyak masyarakat Indonesia mempraktikkan salam ini, termasuk di acara resmi kenegaraan.
Prof Niam mengungkapkan, penggabungan ajaran berbagai agama termasuk pengucapan salam dengan menyertakan salam berbagai agama bukanlah makna toleransi yang dibenarkan.
Karena dalam Islam, kata Prof Niam yang juga Ketua MUI Bidang Fatwa, mengucapkan salam merupakan doa yang bersifat ubaidiah.
“Karenanya harus mengikuti ketentuan syariat Islam dan tidak boleh dicampur adukkan dengan ucapan salam dari agama lain,” kata Prof Niam saat membacakan hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII.
Sementara itu, melansir dari laman resmi Kemenag, kalangan yang melarang salam lintas agama bisa jadi masuk dalam kelompok legal eksklusif. Menafsirkan pesan agama hanya dari teks.
Jadi, mereka memaknai salam sebagai bagian dari ibadah, yang hanya boleh memakai bahasa tertentu dan kepada kelompok tertentu. Ia bersifat sakral, tidak boleh mendapat tafsir macam-macam.
Sebaliknya, kalangan substantif eksklusif akan membolehkan, bahkan pada taraf tertentu menganjurkan pengucapan salam berbagai agama.
Kalangan ini meyakini, secara substantif, salam berbagai agama itu memiliki kesamaan, yakni mendoakan untuk kebaikan bagi semua orang. Bahasa dan cara pengucapannya saja yang berbeda antara satu dan lainnya.
Oleh karena itu, tidak ada salahnya mendoakan orang lain, dengan menggunakan bahasa mereka sendiri, agar lebih mudah mereka pahami.***