SERAYUNEWS–101 tahun NU (Nahdlatul Ulama/Kebangkitan Ulama), organisasi ini berdiri sejak 16 Rajab 1344 H atau 31 Januari 1926.
Harlah NU tahun ini bertepatan dengn proses pilpres dan pemilu legislatif. Organisasi ini selalu menjadi ceruk suara yang jadi rebutan.
Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dirilis 11 Juli 2023 mengemukakan data bahwa terdapat total 20 persen pemilih yang mengaku sebagai anggota NU.
Jika dihitung dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI sebanyak 204.807.222, jumlah anggota NU sebanyak 20 persen itu setara dengan 40.961.444 orang.
Riak konflik internal mengemuka, seolah terbelah oleh perbedaan pilihan di antara tiga paslon.
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Ahmad Mustofa Bisri atau Gus Mus kemudian mengingatkan bahwa tugas NU itu adalah demi memenangkan Indonesia, bukan memenangkan capres.
“Urusannya NU itu memperbaiki kinerja memenangkan Indonesia, bukan memenangkan capres,” tegas Gus Mus kala memberikan tausyiyah dalam Pembukaan Konferensi Besar (Konbes) Nahdlatul Ulama dan Halaqah Nasional Strategi Peradaban Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak, Yogyakarta, Senin (29/1/2024).
Memenangkan Indonesia, sebuah frase yang menyadarkan pada tugas sejarah yang merupakan amanat dari pendirinya.
KH Wahab Hasbullah telah memberi legasi sangat berharga tentang konsep cancut taliwondo.
Dalam bahasa Jawa, cancut artinya menyingsingkan baju. Cancut taliwondo memiliki arti untuk bersegera berangkat mengerjakan tugas.
Secara filosofis, cancut taliwondo bermakna tidak hanya berpangku tangan tetapi saling bekerja sama dengan segenap kemampuan untuk satu tujuan yang menjadi cita-cita bersama. Bersatu adalah awal untuk kemajuan.
Saat itu, Presiden Sukarno sedang kesulitan melaksanakan Tri Kora. Kemudian, dia meminta nasihat KH Wahab Hasbullah Rais Am PBNU.
Kiai Wahab menyarankan harus menjalankan Diplomasi Cancut Taliwondo, yaitu sebuah strategi politik dengan langkah-langkah tertentu; di dalam negeri kehidupan politik harus disehatkan.
Cancut taliwondo bisa dikatakan sebagai strategi politik kontemporer yang sampai saat ini tetap relevan. Mari kita cek strategi cancut taliwono yang berisi delapan poin tersebut
Pertama, partai- partai politik harus mendapat jaminan partisipasinya secara adil dan jujur. Kedua, pemerintah harus mengentaskan rakyat dari kemiskinan dan kemelaratan dengan dengan cara meratakan keadilan dan pemberantasan korupsi.
Ketiga, industri rakyat harus mendapat perlindungan dan bantuan yang layak. Keempat, penghematan harus berlaku bagi semua kalangan. Kelima, harus ada kelonggaran hak demokrasi agar rakyat mendapat ketenteraman dan kebebasan mengeluarkan pendapat.
Keenam, jangan terus memunculkan kecurigaan pada umat Islam karena itikad mereka hanyalah hendak menyematkan bangsa dan negara. Ketujuh, bersabar tetapi tetap kerja keras. Semuanya memang butuh waktu. Kedelapan, militer harus kuat. Kita baru bisa bersikap keras (tegas) dalam berdiplomasi kalau mempunyai keris (senjata).
Pembuatan kedelapan poin di atas memang dalam rangka melaksanakan Tri Kora.
Namun, kondisi saat ini kita kembali membutuhkan strategi cancut taliwondo.
Pemilu harus jujur dan adil, tidak memihak salah satu paslon dan tidak menabrak aturan. KPK mendapatkan marwahnya kembali. Harus ada pemerataan, ketimpangan ekonomi dapat memicu konflik.
Tidak ada politisasi bansos, harus ada jaminan kebebasan berpendapat. Tak ada kecurigaan pada umat Islam. Semua harus sabar, tidak memaksakan kehendak. Terakhir, alutista harus kuat sesuai kebutuhan.
Pada tahun 2019, Amin Ma’aruf juga telah menyebut cancut taliwondo.
“Visi sudah disampaikan oleh Bapak Jokowi, presiden kita. Karena itu, mari kita siap cancut taliwondo untuk siap berbakti bagi nusa dan bangsa,” kata Ma’ruf di depan massa pendukungnya, di SICC, Minggu (14/7/2019).
Tampaknya, bertepatan dengan 101 Tahun NU, cancut taliwondo dengan konsep sebenarnya harus dilakukan NU, menyehatkan politik dalam negeri. *** (O Gozali)