SERAYUNEWS – Industri film Indonesia kembali mendapat sorotan dengan fenomena cancel culture yang kini mulai merambah ke dunia perfilman Tanah Air. Salah satu contohnya adalah film A Business Proposal, yang diadaptasi dari webtoon dan drama Korea populer.
Meski mengusung kisah yang sudah dikenal luas, film yang dibintangi oleh Ariel Tatum dan Abidzar Al Ghifari ini justru mengalami kegagalan di hari pertama penayangannya. Dari 1.270 kali pemutaran, hanya 6.894 penonton yang hadir di bioskop.
Hasil yang mengecewakan ini memicu perbincangan luas. Banyak yang menilai bahwa fenomena cancel culture mulai diterapkan di industri film Indonesia.
Budaya ini membuat penonton semakin kritis dan tidak ragu untuk memberikan penilaian tegas terhadap sebuah karya yang dianggap kurang memuaskan.
Cancel culture adalah fenomena di mana publik secara kolektif memilih untuk memboikot atau menghentikan dukungan terhadap seseorang, produk, atau karya tertentu karena dianggap tidak sesuai dengan harapan mereka.
Dalam konteks perfilman, cancel culture bisa terjadi ketika sebuah film mendapat respons negatif akibat kualitas yang dianggap kurang memadai, kontroversi seputar pemainnya, atau blunder dalam strategi pemasaran.
Kasus A Business Proposal menunjukkan bahwa penonton tidak segan untuk memberikan kritik pedas.
Banyak yang menyoroti kualitas akting, pemilihan pemain yang tidak sesuai dengan karakter aslinya, hingga promosi yang kurang menarik. Tak heran jika akhirnya film ini sulit menarik minat masyarakat.
Budaya cancel culture sebenarnya sudah lama ada di Jepang dan Korea, di mana penggemar sangat selektif dalam mendukung karya hiburan. Kini, tren serupa mulai terlihat di Indonesia, terutama di kalangan pecinta drama Korea dan webtoon.
Banyak penonton yang sudah terbiasa dengan standar produksi drama Korea yang tinggi.
Ketika ada remake lokal yang kualitasnya dianggap lebih rendah, mereka langsung memberikan kritik tajam hingga memilih untuk tidak menonton film tersebut.
Fenomena ini menunjukkan bahwa penonton Indonesia semakin kritis dan memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap film yang mereka konsumsi.
Industri perfilman Indonesia harus menyadari bahwa penonton kini lebih cerdas dan memiliki standar yang jelas.
Mereka tidak hanya ingin cerita yang menarik, tetapi juga kualitas akting yang mumpuni, sinematografi yang apik, dan produksi yang matang.
Dalam dunia hiburan, penonton memiliki peran utama dalam menentukan sukses atau tidaknya sebuah karya.
Tidak peduli seberapa besar nama aktor atau seberapa populer sumber materi aslinya, jika eksekusinya kurang memuaskan, penonton tidak akan ragu untuk meninggalkannya.
Kreator film perlu memahami bahwa penonton bukan hanya sekadar konsumen, tetapi juga pihak yang menentukan arah industri ini. Tanpa dukungan mereka, film sebagus apa pun tidak akan berhasil di pasaran.
Karena itu, produser, sutradara, dan tim produksi harus lebih cermat dalam melakukan riset pasar sebelum merilis film. Pemilihan aktor, alur cerita, hingga strategi promosi harus disusun dengan matang agar sesuai dengan ekspektasi penonton.