SERAYUNEWS – Ribuan warga, aktivis lingkungan, dan wisatawan mancanegara bersatu menolak kehadiran tambang nikel di wilayah konservasi Raja Ampat, Papua Barat Daya.
Tagar #SaveRajaAmpat menggema di media sosial, menyoroti ancaman terhadap salah satu surga laut terakhir di dunia.
Raja Ampat, destinasi wisata kelas dunia yang terkenal dengan kekayaan hayati lautnya, kini menghadapi ancaman serius.
PT Mulia Raymond Perkasa, sebuah perusahaan tambang nikel, konon mengantongi izin eksplorasi di Pulau Manyaifun dan Batang Pele, dua wilayah yang masuk dalam kawasan sensitif lingkungan.
Izin ini sontak menuai penolakan luas. Aliansi Jaga Alam Raja Ampat (ALJARA), bersama tokoh masyarakat adat dan pegiat lingkungan, melakukan aksi damai pada akhir Mei 2025.
Mereka menolak aktivitas pertambangan yang mungkin merusak ekosistem laut dan kehidupan sosial-ekonomi warga setempat.
“Kami tidak ingin anak cucu kami hanya mendengar cerita tentang keindahan laut Raja Ampat. Tambang bukan masa depan kami,” tegas Markus Mambrasar, tokoh adat dari Waigeo Barat.
Uniknya, puluhan wisatawan asing juga mengikuti aksi damai yang berlangsung di Waisai, ibu kota Raja Ampat.
Mereka datang bukan hanya untuk menikmati keindahan bawah laut, tetapi juga menyuarakan solidaritas terhadap perjuangan masyarakat lokal.
Dalam beberapa video yang viral di TikTok dan Instagram, para turis membawa poster bertuliskan Protect What You Love dan No Nickel Mining in Paradise.
Keikutsertaan mereka menjadikan isu ini tidak hanya berskala nasional, tetapi juga global.
“Ini bukan hanya soal Indonesia. Ini tentang menjaga warisan dunia,” ujar Johanna, wisatawan asal Jerman yang mengikuti aksi damai.
Data dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menunjukkan bahwa pariwisata menyumbang sekitar Rp1,2 triliun bagi perekonomian Raja Ampat per tahun, dengan lebih dari 20.000 orang bergantung pada sektor ini.
Sebaliknya, aktivitas tambang justru dikhawatirkan menimbulkan kerusakan permanen pada terumbu karang dan habitat laut yang menjadi daya tarik utama.
Banyak pihak juga mempertanyakan legalitas izin tambang tersebut, mengingat wilayah Raja Ampat telah menjadi Kawasan Konservasi Laut Nasional dan termasuk dalam peta wilayah pulau-pulau kecil yang seharusnya terlindungi dari aktivitas ekstraktif.
Sejumlah organisasi, termasuk WALHI Papua Barat, Greenpeace Indonesia, dan Yayasan EcoNusa, mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk segera mencabut izin tambang itu.
Mereka menilai kehadiran industri ekstraktif bertolak belakang dengan komitmen Indonesia dalam menjaga kawasan konservasi dan pembangunan berkelanjutan.
“Raja Ampat bukan koloni industri. Ini adalah warisan dunia yang seharusnya dijaga, bukan dieksploitasi,” ungkap pernyataan resmi dari Institut Usba, lembaga riset lingkungan di Papua.
Isu tambang nikel di Raja Ampat bukan sekadar konflik antara ekonomi dan ekologi. Ini adalah pertaruhan masa depan bagi alam, masyarakat adat, dan generasi penerus.
Gelombang dukungan terhadap #SaveRajaAmpat menjadi bukti bahwa kesadaran kolektif untuk melindungi lingkungan hidup terus tumbuh, melampaui batas-batas negara dan budaya.***