SERAYUNEWS—- Setiap Idulfitri, masyarakat Indonesia mengenal lebaran hari pertama dan hari kedua. Padahal 1 Syawal hanya jatuh satu hari saja, tetapi tanggal merahnya ada dua, di luar adanya ketetapan cuti bersama. Bagaimana hal ini bisa terjadi?
Kebijakan ini lahir sejak era pemerintah kolonial Belanda. Pemerintah kolonial sudah berpikir jauh, bahwa akan ada perbedaan hari Lebaran antar daerah bahkan antar kampung. Perbedaan ini harus disatukan dengan menetapkan dua hari berurutan sebagai tanggal merah atau hari libur.
Seperti kita ketahui, penetapan hari pertama puasa dan hari raya Idul Fitri melalui dua cara, yaitu cara penanggalan astronimis (hisab) dan pengamatan hilal (rukyat). Terkadang bisa memulai puasa dan lebaran pada waktu yang bersamaan dan kadang berbeda.
Selain itu, dahulu belum ada pengumuman resmi pemerintah lewat sidang isbat. Masyarakat memberikan pengumuman lewat bunyi bedug di masjid dan surau.
Mohammad Roem, Wakil Perdana Menteri yang juga pernah menjabat Menteri Luar Negeri di era Orde Lama, mengisahkannya dalam sebuah tulisan ringan di koran Indonesia Raya edisi Lebaran 1391 H atau 1971.
Roem memaparkan fakta yang dia alami sendiri, pemerintah kolonial Belanda menetapkan kebijakan Lebaran hari pertama dan hari kedua, seperti sekarang ini, sebagai tanggal merah untuk memberi kesempatan libur bagi warga yang Lebarannya jatuh pada hari yang berbeda.
“Untuk menampung kemungkinan adanya Idulfitri yang tidak sama jatuhnya,” tulis Roem.
Roem juga membantah bahwa adanya perbedaan hari Lebaran itu sebagai perpecahan.
“Karena rukyat dan hisab itu dua-duanya diperbolehkan oleh agama. Maka tidak ada kekuasaan dunia yang dapat mengubahnya,” katanya.
Menurut Roem, soal awal dan akhir puasa tiap tahun menjadi bahan tukar pikiran. Pada pokoknya berdialog itu baik, tapi jangan ingin mencapai sesuatu yang tidak mungkin.*** (O Gozali)