SERAYUNEWS – Baru-baru ini, publik dihebohkan dengan kasus pemecatan seorang siswa Sekolah Polisi Negara (SPN) Polda Jawa Barat bernama Valyano Boni Raphael.
Pemecatan ini terjadi hanya enam hari sebelum pelantikan, dengan alasan bahwa Valyano diduga mengidap Narcissistic Personality Disorder (NPD).
Namun, apa sebenarnya arti dari NPD dalam kasus pemecatan SPN Polri?
Narcissistic Personality Disorder (NPD) atau gangguan kepribadian narsistik adalah kondisi mental di mana seseorang memiliki perasaan penting diri yang berlebihan, kebutuhan mendalam akan perhatian dan kekaguman.
Istilah “narsis” mungkin saja sering kita dengar, terutama ketika digunakan untuk menggambarkan orang yang senang memotret dirinya sendiri atau terlalu fokus pada penampilan luar.
Lebih ingin memproyeksikan rasa percaya diri yang sangat tinggi tetapi sangat sensitif terhadap kritik. Sayangnya, orang dengan gangguan NPD kurang empati terhadap orang lain.
Gejala umum NPD meliputi:
Penyebab pasti NPD belum diketahui, bisa disebabkan oleh karakteristik bawaan (genetik), pola asuh saat masa kecil, pernah mengalami trauma atau kurang dukungan.
Tidak menutup kemungkinan karena kombinasi faktor genetik, lingkungan, dan neurobiologis diduga berperan dalam perkembangan gangguan ini.
Gangguan NPD ini tentu saja tidak bisa begitu saja didiagnosis orang bukan ahlinya. Misalnya perlu pengamana dari orang yang profesional di bidangnya, yakni psikolog atau konselor.
Demikian juga proses diagnosis juga tidak serta merta dalam waktu yang singkat. Bahkan untuk pengobatan NPD sering kali membutuhkan waktu yang lama.
Nama Ipda Ferren Azzahra Putri menjadi sorotan anggota DPR RI maupun publik. Hal ini karena Ipda Feren menyebut bahwa siswa bintara Valyano Boni Raphael mengalami gangguan kejiwaan.
Akibat pernyataan tersebut, Valyano dikeluarkan dari SPN Polda Jabar. Bagaimana kronologi Valyano dikeluarkan?
Valyano Boni Raphael adalah seorang siswa di SPN Polda Jawa Barat yang dikeluarkan pada 3 Desember 2024, di mana belum mengikuti pelantikan.
Pihak SPN menyatakan bahwa Valyano tidak mengikuti jam pelajaran sebanyak 132 jam (12%) dan perjalanan lapangan sebanyak 100 jam (8%), sehingga total ketidakhadiran mencapai 19,33%, melebihi batas toleransi 12% yang ditetapkan.
Selain itu, Valyano diketahui pernah mengikuti pendidikan di Kodiklat TNI AL pada tahun 2023 namun dikeluarkan karena diduga mengalami depresi.
Ipda Ferren dari Bagian Psikologi SDM Polda Jabar menyampaikan bahwa Valyano didiagnosis mengidap NPD, yang menjadi salah satu alasan pemecatannya. Hal itu disampaikan dalam rapat dengan Komisi III DPR RI.
Kasus ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk anggota Komisi III DPR RI, Ahmad Sahroni.
Sahroni mempertanyakan keputusan pemecatan tersebut dan menyoroti dugaan kekerasan yang dialami Valyano selama pendidikan.
Ia menegaskan pentingnya evaluasi terhadap sistem pendidikan di SPN untuk mencegah kejadian serupa di masa depan.
Ibu Valyano, Veronica Putri Amalia, membantah bahwa anaknya mengalami gangguan kejiwaan. Ia mengakui bahwa Valyano pernah mengalami depresi saat mengikuti pendidikan militer, namun menegaskan bahwa kondisi tersebut tidak berlanjut selama di SPN.
Justru Veronica juga mengungkapkan bahwa anaknya mengalami kekerasan fisik dari seniornya selama pendidikan, yang menambah kompleksitas kasus ini.
Kasus pemecatan Valyano Boni Raphael dari SPN Polda Jawa Barat dengan alasan dugaan mengidap Narcissistic Personality Disorder (NPD) menyoroti pentingnya penanganan kesehatan mental dalam institusi pendidikan militer dan kepolisian.
Penting bagi institusi terkait untuk memastikan bahwa proses seleksi dan pendidikan memperhatikan aspek kesehatan mental secara komprehensif, serta menyediakan dukungan yang diperlukan bagi individu yang mungkin mengalami gangguan kejiwaan.
Selain itu, transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemecatan harus dijaga untuk memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat.
***