SERAYUNEWS- Pernah merasa otak cepat lelah, padahal cuma rebahan sambil scroll media sosial? Atau saat diajak ngobrol jadi agak “lemot”, padahal baru saja nonton video lucu di TikTok?
Fenomena ini sedang populer di dunia maya dengan istilah brain rot. Walau bukan istilah medis resmi, dampaknya terhadap kesehatan mental dan fungsi kognitif manusia cukup serius.
Melansir artikel Dr Muhammad Ash-Shiddiqy, Akademisi UIN Prof KH Saifuddin Zuhri Purwokerto, mari kita simak penjelasan apa itu brain rot? Kenali dampaknya bagi kesehatan mental di era digital:
Secara harfiah, brain rot berarti “pembusukan otak”. Istilah ini digunakan secara metaforis untuk menggambarkan kondisi penurunan fungsi kognitif akibat konsumsi konten digital yang berlebihan, cepat, dan dangkal.
Konten yang dimaksud biasanya adalah video pendek, meme, atau hiburan instan yang tidak memerlukan pemikiran mendalam.
Dalam psikologi kognitif, fenomena ini terkait dengan teori “cognitive overload” ketika otak menerima terlalu banyak informasi secara terus-menerus sehingga kapasitas memproses informasi menjadi terbatas.
Akibatnya, kita cenderung kehilangan kesabaran untuk berpikir panjang, sulit fokus, dan lebih suka konten cepat yang memicu dopamin instan.
Otak manusia memiliki sistem reward yang bekerja melalui neurotransmitter seperti dopamin. Setiap kali kita menonton video lucu atau mendapat notifikasi baru, dopamin dilepaskan, memberikan sensasi senang.
Masalahnya, konten digital instan memicu pelepasan dopamin dengan cara yang cepat dan berulang, mirip seperti pola yang ditemukan pada kecanduan makanan manis atau judi.
Penelitian dalam jurnal Nature Reviews Neuroscience (Volkow et al., 2021) menunjukkan bahwa stimulus digital berulang bisa membentuk “pathway” baru di otak yang memprioritaskan kesenangan instan dibanding aktivitas yang membutuhkan usaha mental.
Dalam jangka panjang, hal ini dapat mengurangi kemampuan otak untuk menahan godaan dan mempertahankan fokus.
Jika dibiarkan, brain rot dapat menimbulkan serangkaian masalah yang saling berkaitan:
1. Sulit Fokus
Konsentrasi mudah terpecah (distractibility) karena otak terbiasa dengan pergantian informasi yang cepat.
2. Pemikiran Dangkal
Kita menjadi kurang sabar membaca teks panjang atau menganalisis isu kompleks. Dalam literatur, ini disebut shallow processing.
3. Kecemasan dan Overthinking
Paparan informasi berlebihan (information overload) dapat memicu stres, kecemasan, bahkan gejala depresi ringan.
4. Kreativitas Menurun
Otak butuh waktu “diam” atau mind wandering untuk berinovasi. Terlalu banyak konsumsi konten instan menghilangkan ruang tersebut.
5. Gangguan Tidur
Kebiasaan doomscrolling sebelum tidur mengganggu produksi melatonin, membuat kualitas tidur menurun dan emosi tidak stabil.
6. Penurunan Keterampilan Sosial
Interaksi tatap muka berkurang, sehingga empati dan kepekaan sosial bisa menurun.
Ada beberapa faktor yang membuat fenomena ini merebak:
⦁ Desain Aplikasi yang Adiktif
Platform seperti TikTok, Instagram Reels, dan YouTube Shorts sengaja dirancang untuk mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin. Algoritma mengatur agar konten yang muncul selalu relevan dengan preferensi kita, memicu rasa ingin terus menonton.
⦁ Budaya Kecepatan Informasi
Di era digital, nilai konten sering diukur dari seberapa cepat dan ringkas ia disampaikan, bukan dari kedalaman isinya.
⦁ Pandemi dan Isolasi Sosial
Selama pandemi COVID-19, penggunaan media digital meningkat drastis. Kebiasaan ini bertahan hingga sekarang, memperkuat pola konsumsi konten instan.
⦁ Tekanan Sosial dan Fear of Missing Out (FOMO)
Banyak orang merasa perlu terus mengikuti tren atau berita terbaru, yang memicu perilaku scrolling tanpa henti.
Mencegah brain rot bukan berarti menghapus media sosial sepenuhnya, melainkan mengatur pola konsumsi digital. Beberapa langkah yang bisa dilakukan:
1. Batasi Waktu Layar
Gunakan fitur screen time atau alarm untuk mengontrol durasi penggunaan ponsel.
2. Pilih Konten Berkualitas
Konsumsi konten edukatif atau bacaan mendalam yang menantang cara berpikir.
3. Latihan Fokus (Deep Work)
Sisihkan waktu 30–60 menit setiap hari untuk bekerja atau belajar tanpa gangguan notifikasi.
4. Mindfulness dan Digital Detox
Luangkan waktu tanpa gawai. Cobalah meditasi, menulis jurnal, atau sekadar berjalan di luar rumah.
5. Aktivitas Fisik dan Sosial
Olahraga, ikut kajian, atau berinteraksi langsung dengan teman dan keluarga untuk menstimulasi otak secara sehat.
6. Tidur Teratur
Hindari layar setidaknya satu jam sebelum tidur untuk menjaga ritme sirkadian.
Fenomena brain rot tidak bisa hanya dilihat sebagai “kesalahan pengguna”. Ada dimensi struktural: industri teknologi dan media sosial memperoleh keuntungan dari perhatian kita yang tersita.
Desain platform yang adiktif bukanlah kebetulan, melainkan bagian dari ekonomi perhatian (attention economy).
Karena itu, literasi digital harus menjadi bagian dari kebijakan publik dan pendidikan. Pemerintah, sekolah, bahkan keluarga perlu mengajarkan cara mengelola perhatian di tengah banjir konten.
Sama seperti kesehatan fisik memerlukan gizi seimbang, kesehatan mental juga memerlukan diet informasi yang sehat.
Brain rot mungkin terdengar seperti istilah gaul yang lucu, tapi ia merefleksikan masalah serius: penurunan kapasitas berpikir mendalam di era digital.
Menjaga kesehatan mental di tengah derasnya arus informasi bukan sekadar urusan pribadi, tapi juga tantangan sosial yang memerlukan kesadaran kolektif.
Di akhir hari, kita perlu mengingat satu prinsip sederhana: kitalah yang mengendalikan teknologi, bukan sebaliknya.
Memilih kapan, bagaimana, dan untuk apa kita menggunakan media digital adalah langkah pertama untuk memastikan otak tetap segar, fokus terjaga, dan kesehatan mental terlindungi.