SERAYUNEWS – Apa syarat menjadi Paus di Vatikan? Pertanyaan ini muncul di tengah masa berkabung, wafatnya Paus Fransiskus.
Pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia, wafat pada Senin, 21 April 2025. Dengan begitu, Takhta Suci Vatikan mengalami kekosongan sampai ada penggantinya.
Kepergian beliau menandai berakhirnya sebuah era dan memulai babak baru dalam sejarah kepemimpinan Vatikan: pemilihan Paus baru.
Pertanyaan pun muncul di berbagai belahan dunia: Apa syarat menjadi Paus di Vatikan? Siapa yang berhak memilih dan dipilih dalam konklaf? Dan mungkinkah ada wakil dari Indonesia yang berkesempatan duduk di Takhta Suci?
Menjadi Paus bukanlah proses sederhana. Ada sejumlah syarat dan prosedur ketat yang harus dilalui.
Paus adalah pemimpin spiritual umat Katolik di seluruh dunia sekaligus Kepala Negara Kota Vatikan. Oleh karena itu, proses pemilihannya harus melewati mekanisme tradisional yang disebut konklaf.
Konklaf berasal dari bahasa Latin cum clave, yang berarti “dengan kunci”. Konklaf adalah pertemuan tertutup yang melibatkan para kardinal Gereja Katolik untuk memilih Paus baru.
Pertemuan ini diadakan di Kapel Sistina, Vatikan, dan berlangsung dalam suasana penuh kehormatan dan kerahasiaan.
Diketahui, ada sebanyak 120 kardinal yang berusia di bawah 80 tahun memiliki hak untuk memilih Paus dalam konklaf.
Mereka dikenal sebagai kardinal elektor. Proses ini hanya dilakukan apabila Paus yang sedang menjabat meninggal dunia atau secara resmi mengundurkan diri.
Secara teoretis, siapapun lelaki Katolik yang telah dibaptis dapat dipilih menjadi Paus bahkan seorang awam.
Namun, dalam praktiknya, sepanjang sejarah Gereja Katolik, Paus selalu dipilih dari kalangan rohaniwan, khususnya mereka yang pernah menjabat sebagai uskup, kardinal, atau diakon.
Berikut syarat utama untuk bisa terpilih menjadi Paus:
Laki-laki Katolik yang taat dan setia pada ajaran Gereja.
Berstatus sebagai kardinal, meskipun bukan keharusan absolut, namun dalam praktiknya menjadi hal yang lumrah.
Memiliki usia yang matang, biasanya di atas 60 tahun.
Mempunyai catatan pelayanan yang baik dalam hirarki Gereja Katolik.
Dipilih secara sah dalam konklaf, oleh mayoritas dua pertiga dari suara kardinal elektor.
Setelah seseorang terpilih, jika ia bukan uskup, maka ia akan ditahbiskan terlebih dahulu sebelum resmi diumumkan sebagai Paus. Proses ini menandai awal dari masa kepemimpinannya.
Kabar meninggalnya Paus Fransiskus tidak hanya menjadi perhatian dunia Katolik, tetapi juga membawa nama Indonesia ke dalam sorotan.
Hal ini karena satu-satunya kardinal asal Indonesia yang memenuhi syarat sebagai kardinal elektor akan turut serta dalam konklaf adalah Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo.
Nama Lengkap: Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo
Lahir: 9 Juli 1950
Kiprah Gereja:
Ditunjuk sebagai Uskup Agung Semarang oleh Paus Yohanes Paulus II pada 1997.
Menjadi Uskup Agung Jakarta sejak 2010, menggantikan Kardinal Julius Darmaatmadja.
Diangkat menjadi kardinal oleh Paus Fransiskus pada 1 September 2019.
Mendapat gelar Kardinal Imam Spirito Santo alla Ferratella.
Suharyo mengusung semboyan “Serviens Domino Cum Omni Humiliate”, yang berarti “Aku melayani Tuhan dengan segala kerendahan hati”—petikan dari Kisah Para Rasul 20:19. Ini mencerminkan dedikasi dan kerendahan hati beliau dalam mengabdi kepada umat.
Sebagai satu-satunya kardinal dari Indonesia yang berusia di bawah 80 tahun, Kardinal Suharyo otomatis menjadi bagian dari konklaf untuk memilih Paus baru.
Meskipun peluangnya untuk menjadi Paus sangat kecil mengingat tradisi dan faktor geopolitik, namun kehadirannya di Vatikan adalah representasi penting bahwa Indonesia turut mengambil bagian dalam dinamika Gereja Katolik global.
Setelah wafatnya Paus Fransiskus, spekulasi mengenai penggantinya mencuat di berbagai media.
Beberapa nama dari Amerika Latin, Afrika, hingga Asia disebut-sebut sebagai kandidat kuat. Namun dalam sistem pemilihan Paus, tidak ada “calon resmi” seperti dalam pemilu pada umumnya.
Setiap kardinal elektor bebas memilih siapapun dari antara mereka, atau bahkan dari luar konklaf, selama yang dipilih adalah laki-laki Katolik yang layak secara rohani dan moral.
Namun, pengalaman, usia, asal negara, pengaruh teologis, dan kapabilitas diplomatik kerap menjadi pertimbangan.
Beberapa nama yang mencuat dalam spekulasi internasional antara lain:
Kardinal Peter Turkson (Ghana)
Kardinal Matteo Zuppi (Italia)
Kardinal Luis Antonio Tagle (Filipina)
Meski begitu, konklaf sangat tertutup dan tidak dapat diprediksi secara pasti. Sejarah pernah mencatat terpilihnya Paus yang “tidak terduga” dalam beberapa kesempatan.
Proses pemilihan Paus di Vatikan bukanlah perkara yang mudah atau sembarangan. Dibutuhkan kesucian, pengalaman, dan pengabdian penuh untuk bisa menduduki Takhta Suci. Dengan wafatnya Paus Fransiskus, Gereja Katolik dunia memasuki masa transisi penting.
Indonesia turut serta dalam momen bersejarah ini lewat kehadiran Kardinal Ignatius Suharyo dalam konklaf. Meski kecil kemungkinan menjadi Paus, namun partisipasinya merupakan simbol peran umat Katolik Indonesia dalam kancah global.
Mari kita tunggu hasil konklaf dengan penuh harapan dan doa. Siapa pun yang terpilih, semoga mampu melanjutkan visi damai dan kasih yang diwariskan oleh Paus Fransiskus.
***