SERAYUNEWS – Meski usianya sudah lebih dari seabad, Arsawiradi Karim (102), veteran perang warga Desa Mandirancan, Kecamatan Kebasen, Kabupaten Banyumas ini masih punya ingatan tajam.
Veteran perang kemerdekaan ini, bahkan masih bisa menceritakan kisah perjuangannya mengusir para penjajah.
Suaranya memang sudah tidak selantang dulu. Rambutnya pun sudah memutih dan jarang, dengan wajah yang sudah keriput.
Beruntung pandangan dan ingatannya masih tajam, untuk seseorang dengan usia yang sudah menginjak 102 tahun.
Sebelum tergabung di Organisasi Pemuda Rakyat (OPR) untuk menjadi pejuang, dia hanyalah seorang pemuda desa biasa. Kesehariannya hanya menggembala kerbau dan bebek.
Ia ditarik oleh rekan-rekannya, untuk menjadi bagian dari OPR yang merupakan cikal bakal Hansip di Indonesia.
“Dulu bawanya itu bambu runcing, dari pring ampel yang di bubuhi racun. Patrolinya keliling di wilayah Lumbir, Kracak, Ajibarang sampai Bumiayu, Brebes,” ujar dia.
Mbah Arsa, orang-orang sekitar memanggil namanya. Dulu kata dia, hanya ada satu pilihan hidup, yakni berjuang membela tanah air.
Pada zaman penjajahan Jepang, Mbah Arsa sempat menjadi bawahan Jenderal Gatot Suwagio. Kemudian, Ia sempat menjadi mata-mata tentara Belanda untuk pejuang pribumi.
“Saya waktu itu memang tidak pegang senjata (senapan, red), hanya pegang bambu runcing dan gunting. Karena, saya itu pejuang rakyat,” katanya.
Ada momen yang cukup mengesankan baginya, saat menghancurkan Jembatan Kali Mengaji Purwokerto. Saat itu, jembatan sengaja di hancurkan agar pasukan Belanda tidak bisa lewat.
“Saya sembunyi di bawah jembatan, tidak makan seharian, bawa bom besar yang harus di gotong 8 orang. Kami juga membuat jejak kaki untuk mengecoh tentara belanda, seakan-akan di lalui pejuang pribumi,” ujarnya.
Kata Mbah Arsa, ada perbedaan karakteristik kekuasaan antara Belanda dan Jepang. Saat penjajahan Belanda, Ia merasa sangat tersiksa. Begitu juga pada saat penjajahan Jepang, mencari makan sangatlah sulit.
“Makan susah, hewan-hewan tidak bisa minum, membuat sumur pun tidak bisa,” kata dia.
Mbah Arsa masih ingat betul, bagaimana baris-berbaris menggunakan Bahasa Jepang. Ia bahkan harus menghapal lagu kebangsaan Jepang.
Hampir semua prajurit zaman itu, pernah merasakan luka. Luka tembak yang membekas di bagian kakinya kirinya, menjadi kenang-kenangan yang tak terlupa. Ia tertembak peluru, beruntungnya tidak sampai menembus kakinya.
“Rasanya waktu itu panas dan sampai sekarang ada bekasnya,” ujarnya.
Setelah perjuangan melawan penjajah selesai, Mbah Arsa melanjutkan hidup seperti biasa. Ia bahkan menikahi 2 orang wanita yang memberinya 8 anak.
Satu di antaranya, sekarang mengabdi di Rumah Sakit Tentara di Jakarta. Kini Mbah Arsa lebih banyak di rumah, menjalani hari tuanya mengandalkan gaji sebagai pejuang veteran.