SERAYUNEWS– Warga yang memadati alun-alun Banjarnegara untuk menonton gelaran Banjarnegara Culture Heritage Sabtu (27/7/2024) terkejut dengan robohnya pohon beringin yang berada di sisi timur Alun-alun.
Akibat kejadian ini, lima orang mengalami luka-luka dan petugas larikan ke RSUD Banjarnegara.
Tumbangnya pohon beringin di Alun-alun Banjarnegara juga pernah terjadi pada 8 September 2017. Saat itu, sedang terjadi hujan deras disertai angin kencang.
Pohon beringin tua yang berada di tengah Alun-alun Banjarnegara tumbang menimpa sejumlah orang yang tengah berteduh. Akibatnya, satu orang meninggal.
Andai saja yang tumbang bukan pohon beringin, maka akan dianggap fenomena alam biasa. Karena pohon beringin, berbagai spekulasi akan bermuncukan. Pohon beringin bagi masyarakat Jawa memiliki makna yang mendalam.
Di Asia, pohon beringin kerap dihubungkan dengan hal-hal mistis, roh, dan seram. Akar gantung yang menjulur dari cabang-cabang ke permukan tanah menambah kesan angker pohon ini.
Pohon ini, menurut Olivier Johannes Raap dalam Kota di Jawa Tempo Doeleo mengutip Broek, dibawa ke Jawa oleh pendatang India. Sejak jaman Hindu, beringin merupakan pohon suci simbol kesuburan dan ketentraman, bahkan orang yakini dapat melindungi penduduk setempat.
Pada masa kerajaan Hindu-Buddha, tanaman ini mendapat penghormatan layaknya candi yang menajdi tempat untuk dewa. Penelitian Viekkle (2008) mengungkapkan bahwa di era tersebut, orang menganggap beringin sebagai tempat tinggal arwah manusia dan menebangnya akan mendapat musibah.
Masyarakat Jawa masih menganggapnya sebagai pohon yang keramat dan mistis sehingga tidak boleh sembarangan. Mistifikasi pohon ini muncul dari karakteristiknya, yaitu batang besar, tinggi bisa mencapai 30 meter, daun lebat, dan akar yang menonjol keluar dari tanah.
Masyarakat Jawa menganggap beringin tumbang, apalagi tanpa hujan dengan angin kencang, sebagai pertanda. Pada tahun 1989, tidak ada angin besar apalagi hujan deras. Tiba-tiba, satu beringin tumbang di Alun-Alun Utara, Yogyakarta. Masyarakat kala itu gempar.
“Kiai Janadaru alias Kiai Jaladaru, saudara kembar Kiai Dewadaru, seolah memberi isyarat tentang suatu hal akan mengisi tahun 1989,” tulis Emha Ainun Nandjib pada Markesot Bertutur Lagi tentang Hakekat Hidup.
Setahun berselang, saat upacara penanaman pohon beringin baru akan berlangsung, Senin Wage, 3 Oktober 1988, sekitar pukul 07.00 Sri Sultan Hamengku Buwana IX meninggal dunia.
Kiai Janadaru memberi isyarat Jejeran Baru atau babak baru di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sultan Hamengku Buwana X naik takhta pada 7 Maret 1989.
Tumbangnya pohon beringin di Alun-alun Yogyakarta kemudian orang anggap sebagai isyarat akan adanya kejadian tidak baik. Selain itu, kejadian tersebut menjadi tanda kesempatan untuk melakukan pembaharuan dan perubahan.
Lantas, apa arti pohon beringin tumbang di Alun-Alun Banjarnegara? Berbagai jawaban sah-sah saja, termasuk jika jadi sebuah peringatan untuk memperhatikan hubungan dengan alam.
Selama ini kita tergila-gila dengan industri ekstratif termasuk membabat hutan demi uang.
Seorang traveler filsuf asal Amerika Eric Weiner, pernah menulis, ketika pohon terakhir ditebang, ketika sungai terakhir dikosongkan, ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.***(Kalingga Zaman)