SERAYUNEWS– Fenomena judi online (judol) kini menjelma menjadi momok sosial baru yang tak bisa lagi dipandang sebelah mata.
Tidak hanya sebagai pelanggaran moral individu, fenomena judol telah merambah ranah sosial, ekonomi, bahkan politik secara masif dan kompleks.
Ekonom Universitas Islam Negeri Prof. K.H. Saifuddin Zuhri (UIN Saizu) Purwokerto, Dr. Muhammad Ash-Shiddiqy memberikan sejumlah pandangannya terkait bahaya judi online.
“Di tengah lesunya ekonomi nasional, jutaan masyarakat terutama dari kalangan menengah ke bawah terjerat dalam sistem judi digital yang menciptakan ketergantungan,” tegas Dr. Ash-Shiddiqy, Rabu (23/4/2025).
Di tengah krisis daya beli dan tingginya angka pengangguran, pertanyaan besar muncul: mengapa justru judol berkembang pesat?
Menurut Dr. Ash-Shiddiqy, jawabannya terletak pada strategi gamifikasi—mekanisme permainan yang membangkitkan rasa senang, penasaran, dan kecanduan.
Kemenangan kecil dipakai sebagai umpan, sementara kekalahan dipoles sebagai “kurang beruntung”. Padahal semua sudah sesuai algoritma yang menguntungkan platform.
“Ini bukan permainan acak. Sistemnya cermat agar pengguna terus kembali. Pemenangnya bukan rakyat, tapi korporasi,” jelas dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam tersebut.
Teknologi digital menjadi pintu masuk utama bagi perluasan judol. Akses mudah ke layanan mobile banking, dompet digital, dan pinjaman online membentuk ekosistem yang sangat mendukung praktik ini.
“Cukup beberapa ketukan di layar, uang bisa berpindah tangan. Tragisnya, korban terbanyak justru berasal dari kalangan miskin, pengangguran, bahkan pelajar,” ungkapnya.
Fenomena ini memperlihatkan krisis literasi digital di tengah masyarakat dan lemahnya regulasi dari negara.
Pemerintah gagal mengantisipasi laju perkembangan teknologi, sehingga ruang digital menjadi liar dan tanpa pengawasan.
Lebih jauh, Dr. Ash-Shiddiqy menyoroti potensi keterlibatan elit politik dalam jaringan judol, khususnya yang berbasis di luar negeri seperti Kamboja.
Dugaan ini menimbulkan kekhawatiran: apakah negara sungguh hadir untuk rakyat, atau justru menjadi bagian dari sistem?
“Judol tidak mengenal kelas sosial. Siapa pun bisa terlibat termasuk yang punya kuasa. Ini sinyal bahwa sebagian aparat negara bisa jadi bagian dari masalah,” ujarnya penuh keprihatinan.
Di tengah situasi genting ini, Dr. Ash-Shiddiqy menegaskan bahwa solusi tetap ada. Ia menawarkan tiga langkah strategis yang perlu segera:
Fenomena judol adalah cermin lemahnya kehadiran negara di ruang digital. Jika tidak segera diatasi, bukan hanya moral masyarakat yang tergerus, tetapi juga masa depan generasi bangsa.
“Negara harus hadir secara aktif dan tegas dalam arsitektur digital. Tidak cukup hanya memblokir situs, tapi membenahi akar masalahnya,” pungkasnya.