Rumah Sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan wajib untuk memenuhi persyaratan perizinan, mengingat hal tersebut berkaitan dengan pelayanan serta keselamatan pasien. Namun, banyak yang salah mengartikan makna terintegrasi yang menjadi salah satu syarat pendirian rumah sakit. Hal tersebut terkuak dalam webinar yang diselenggarakan rogram Studi Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Unosed Purwokerto.
Purwokerto, Serayunews.com
Ketua Prodi Magister Ilmu Hukum Unsoed, Dr Budiyono SH MH mengatakan, dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 3 Tahun 2020 yang perubahan dari Permenkes Tahun 2014 secara jelas disebutkan, bahwa rencana blok bangunan rumah sakit harus berada dalam satu area yang terintegrasi dan saling terhubung. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka lokasi dan blok bangunan rumah sakit harus berada dalam satu area dan bangunannya harus terhubung secara fisik.
“Namun ada yang memaknai berbeda terkait ketentuan Permenkes tersebut, dimana terintegrasi dimaknai sebagai sebuah manajemen, sehingga ada rumah sakit yang secara bangunan dan area terpisah, namun berada dalam satu perizinan. Ini jelas menyalahi aturan,” jelas Budiyono, Kamis (6/1).
Lebih lanjut Budiyono menjelaskan, dalam Pasal 21 Permenkes Nomor 3 Tahun 2020 disebutkan, persyaratan perizinan rumah sakit meliputi lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya manusia, kefarmasian dan peralatan. Dan pada Pasal 23 Ayat 1 dijelaskan, bangunan dan prasarana tersebut harus memenuhi prinsip keselamatan, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan kemudahan, serta dalam ayat 2, ditegaskan bahwa rencana blok bangunan rumah sakit harus berada dalam satu area yang terintegrasi dan saling terhubung.
Dalam webinar yang mengambil tema izin operasional rumah sakit dan implikasi dari perspektif hukum kesehatan tersebut, muncul pembahasan studi kasus tentang perpanjangan perizinan Rumah Sakit Margono Soekardjo (RSMS) Purwokerto. Dimana RSMS memiliki dua rumah sakit pada dua lokasi yang berbeda yaitu RSMS yang berada di Jalan Dr Gubreg dan RS Geriatri dan Paviliun Abiyasa yang berlokasi di Jalan Dr Angka. Kedua RS tersebut mempunyai izin operasional satu yaitu atas nama RSMS.
“Secara fisik jelas kedua RS tersebut terpisah cukup jauh, tetapi ternyata perizinannya menjadi satu, ini jelas menyalahi aturan, tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 23 Ayat 2 Permenkes No 3 Tahun 2020,” terangnya.
Sementara itu, nara sumber lainnya, Prof Harry Azhar mengatakan,, perizinan harus sesuai dengan peraturan menteri kesehatan dan jika tidak sesuai, maka izin operasional rumah sakit tersebut bisa dipertanyakan keabsahan hukumnya. Jika tidak sesuai ketentuan Permenkes, lanjutnya, harusnya izin tidak dikeluarkan, sebab hal ini menyangkut berbagai konsekuensi, seperti penganggaran, status izin praktik para medis dan jasa medis, pengurusan klaim BPJS maupun penanganan pasien yang bersifat darurat.
Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Unsoed, Weda Kupita SH.MH menyoroti tidak adanya layanan IGD di RS Geriatri, dimana hal tersebut berpotensi untuk merugikan pasien gawat darurat yang dibawa berobat ke rumah sakit tersebut.
“Misalnya ada korban laka kemudian dibawa ke RS Geriatri, orang tahunya rumah sakit pasti ada layanan IGD, namun ternyata tidak ada, hal ini tentu akan merugikan pasien dan juga berpotensi membahayakan keselamatan pasien, karena pasien membutuhkan waktu lebih lama lagi untuk bisa mendapatkan penanganan medis, sebab harus berpindah rumah sakit,” tuturnya.
Webinar yang diikuti sekitar 400 peserta ini, menghadirkan beberapa nara sumber, antara lain Dr Nasser SpKKD dosen pascasarjana, Prof Dr Abdul Kadir (Kemenkes), Dr Muh Ibnu Fajar Rahim SH MH (jaksa fungsional Kejagung), Prof Harry Azhar MA PhD CSFA (anggota BPK RI) dan Dr Tomo Rustiano MM (Dirut PT Karisma Medika Utama).