SERAYUNEWS – Film animasi “Merah Putih: One For All” tengah menjadi topik panas di dunia maya. Berapa biaya produksi film tersebut?
Pasalnya, bukan semata karena ceritanya, melainkan karena kisah di balik pembuatannya yang memicu rasa penasaran banyak orang.
Karya dari rumah produksi Perfiki Kreasindo ini dipimpin oleh duet sutradara Endiarto dan Bintang, dengan Toto Soegriwo sebagai produser utama.
Nah, yang membuat heboh, film ini disebut menghabiskan biaya produksi hingga Rp6,7 miliar dengan proses pengerjaan yang berlangsung dalam waktu sangat singkat, kurang dari satu bulan.
Perpaduan angka besar dan tempo produksi kilat inilah yang memancing berbagai dugaan dan komentar pedas dari warganet.
Publik menduga film ini digarap terburu-buru untuk mengejar tayang bertepatan dengan momen 17 Agustus.
Spekulasi makin ramai setelah seorang kreator konten di YouTube mengungkap bahwa beberapa aset visual film ini.
Adapun seperti latar kota dan desain karakter, ternyata dibeli dari platform digital seperti Daz3D. Masalahnya, aset tersebut bukan hasil kreasi khusus untuk cerita lokal.
Salah satu contohnya adalah penggunaan latar jalanan yang ternyata berasal dari paket bertema “Street of Mumbai”, yang membuat nuansa Indonesia di film ini terasa lemah.
Warganet menilai hal ini memperburuk kualitas estetika secara keseluruhan, apalagi jika dibandingkan dengan anggaran yang disebut miliaran rupiah.
Banyak komentar yang membandingkan biaya produksi Merah Putih: One For All dengan karya animasi besar maupun serial populer.
Sebagai gambaran, satu episode anime terkenal seperti One Piece atau Demon Slayer diproduksi dengan kisaran biaya sekitar Rp1,8 miliar, namun hasil akhirnya jauh lebih halus dan detail.
Perbandingan ini tentu saja membuat sebagian penonton bertanya-tanya: apakah nominal yang disebutkan benar-benar mencerminkan kualitas yang terlihat di layar?
Di tengah derasnya kritik, Toto Soegriwo selaku produser membantah keras tuduhan bahwa dana produksi berasal dari pemerintah.
Ia menegaskan bahwa tidak ada bantuan finansial dari pihak manapun, apalagi dana publik.
Menurutnya, tuduhan tersebut adalah fitnah yang tidak hanya menyerang pribadi, tapi juga berdampak pada keluarganya.
Pemerintah, melalui Wakil Menteri Ekonomi Kreatif Irene Umar, juga menyampaikan pernyataan resmi.
Ia mengatakan memang pernah menerima tim produksi film ini untuk audiensi, namun hanya memberikan masukan kreatif terkait cerita dan tampilan visual, tanpa dukungan dana atau fasilitas promosi.
Terlepas dari kontroversinya, film ini dijadwalkan tayang pada 14 Agustus 2025 di beberapa jaringan bioskop.
Ceritanya berpusat pada sekelompok anak yang tergabung dalam “Tim Merah Putih”, dengan misi menjaga bendera pusaka di sebuah desa yang tenang menjelang Hari Kemerdekaan.
Ide ceritanya sebenarnya cukup sederhana namun sarat pesan nasionalisme, khususnya untuk penonton muda.
Produser mengaku ingin menghadirkan tontonan yang mengedukasi sekaligus menghibur, meski akhirnya banyak yang menilai eksekusinya belum maksimal.***