SERAYUNEWS – Tiga kali ia lafalkan basmallah, lalu ia ludahi telapak tangannya. Dengan perlahan, telapak itu ditepukkan ke batang pohon kelapa satu per satu. Begitulah cara Slamet memilih pohon yang siap disadap air niranya. Bukan ilmu sulap, bukan pula warisan indra keenam. Semua itu ia rasakan, ia pahami—dengan telapak tangan dan kepekaan hati.
Pohon kelapa yang tinggi menjulang itu bukan rintangan bagi Slamet, Penderes asal Desa Watuagung RT 08 RW 10, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas. Ia mendekap batangnya, menapakkan kaki di lubang kecil yang biasa disebut tataran—semacam pijakan buatan yang ia buat sendiri. Dengan tubuh kecil dan tanpa alat pengaman, ia memanjat. Di pinggangnya tergantung ember bekas cat. Usianya 57 tahun. Dan Slamet, tidak bisa melihat alias tuna netra sejak kecil.
Namun hari-harinya tetap ia isi dengan kerja keras. Setiap pagi, pria asal Desa Watuagung, Kecamatan Tambak, Kabupaten Banyumas ini memanjat pohon-pohon kelapa miliknya. Satu per satu, hingga 14 pohon dalam sehari.
Saat sore tiba, ia kembali naik. Ember-ember kecil yang ia pasang pagi tadi kini penuh dengan tetesan air nira—hasil sadapan dari manggar kelapa yang ia potong. Air nira itu kemudian dikumpulkan di rumah, direbus di atas tungku kayu oleh istrinya, Tuniyem. Setelah mendidih dan mengental, nira berubah jadi gula merah. Dari dapur sederhana itu, manis gula kelapa mengalir—hasil kerja keras sepasang suami istri.
Dalam sehari, Slamet dan Tuniyem bisa menghasilkan hingga 3 kilogram gula merah. Harganya Rp17 ribu per kilogram. Hasil penjualan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari. Tak besar, tapi cukup untuk menyambung hidup.
“Saya memang tidak bisa melihat. Tapi saya bisa meraba. Dan saya percaya, selama kita mau berusaha, Allah akan beri jalan,” ujar Slamet.
Slamet menyebut pekerjaannya sebagai bentuk jihad. “Saya pasrah pada takdir, tapi tidak boleh pasrah menjalani hidup. Saya akan terus memanjat pohon kelapa selama masih bisa. Karena bagi saya, bekerja itu ibadah,” kata dia.
Di antara banyaknya kisah perjuangan, Slamet adalah satu dari sedikit yang benar-benar menyadarkan kita, hidup tak selalu butuh mata untuk melihat arah. Kadang, cukup dengan hati yang tak lelah melangkah.
Menuju rumah Slamet bukan hal mudah. Jalan berbatu dan tanjakan curam membuat perjalanan cukup melelahkan. Tapi semua terbayar saat melihat sendiri bagaimana Slamet menyambut tamu tersenyum, ramah, lalu dengan sigap menunjukkan kemampuannya memanjat pohon kelapa tanpa ragu sedikit pun.
Camat Tambak, Ika Suprihatin, menyebut Slamet sebagai sosok yang menginspirasi. Slamet merupakan sosok yang luar biasa, tidak hanya bekerja tanpa melihat, tetapi juga bertanggung jawab penuh sebagai kepala keluarganya. Hal tersebut Ika akui saat berkunjung ke rumah Slamet belum lama ini.
“Pemerintah telah membantu Slamet melalui Program Keluarga Harapan (PKH), serta mendata ulang untuk keikutsertaan BPJS Ketenagakerjaan. Sementara untuk kartu penderes, Slamet sudah memilikinya sejak lama,” katanya.
Masih menurut Ika, Slamet tinggal bersama Tuniyem, istrinya yang berusia 50 tahun. Tuniyem tak kalah tangguh. Setiap hari ia berjalan ke hutan milik perhutani, menanam dan memetik hasil bumi seperti ketela pohon dan pepaya. Mereka dikaruniai lima anak. Dua di antaranya masih sekolah kelas satu di madrasah tsanawiyah, satu lagi mondok di pesantren. Tiga lainnya sudah mandiri dan tinggal di luar kota.