SERAYUNEWS – Belakangan ini, platform media sosial TikTok kembali ramai diperbincangkan publik.
TikTok merupakan salah satu media sosial yang populer, dengan menggunakan algoritma FYP (For Your Page) untuk menentukan konten yang ditampilkan kepada pengguna.
Baru-baru ini, platform ini menjadi perbincangan hangat setelah sebuah unggahan dari akun Instagram @tante.rempong.official.
Dalam unggahan tersebut, Marissa Anita menjelaskan cara kerja algoritma TikTok, yang memang secara teknis diatur dengan ketat.
Diduga, algoritma TikTok berbeda-beda di tiap negara. Marissa juga membahas fenomena FYP yang sering menampilkan konten yang tak terduga—mulai dari yang biasa hingga video yang terkesan sensasional dan memicu perhatian publik.
Unggahan video tersebut mendapat respons luar biasa dari warganet, dengan 1.877 likes, 119 komentar, dan ribuan views dalam waktu singkat.
Hal ini menunjukkan bahwa persoalan algoritma TikTok memang menarik untuk dibahas, khususnya terkait dampaknya terhadap edukasi dan psikologi penggunanya.
Banyak pengguna yang merasa terhubung dan berbagi pengalaman serupa mengenai apa yang mereka temui di FYP TikTok mereka.
Di China, TikTok dikenal dengan nama Douyin. Algoritma FYP di Douyin diatur dengan ketat oleh pemerintah China untuk memprioritaskan konten yang bersifat edukatif dan inspiratif.
Konten yang didorong untuk muncul di FYP adalah yang mendukung nilai budaya, seperti sains, sejarah, teknologi, dan motivasi belajar.
Selain itu, pemerintah China juga membatasi pengguna di bawah 14 tahun hanya dapat mengakses aplikasi ini selama 40 menit setiap hari.
Konten TikTok di China dianggap lebih berfaedah, di mana setiap pengguna didorong untuk mengakses informasi yang bermoral dan membangun.
Aturan ini mencerminkan kebijakan pemerintah China yang lebih fokus pada manfaat daripada hiburan semata. Langkah ini juga bertujuan untuk mengurangi dampak negatif penggunaan media sosial yang berlebihan.
Hal ini tentu saja kontras dengan FYP di negara lain, di mana seringkali konten yang muncul cenderung ringan dan tidak mendidik.
Marissa Anita juga mengungkapkan dalam unggahan Instagramnya bahwa algoritma TikTok memang dibuat berbeda di tiap negara, dan hal ini bisa mempengaruhi penggunanya.
Hal ini mengundang banyak respons dari warganet yang berpendapat bahwa FYP TikTok sangat tergantung pada apa yang sering ditonton oleh penggunanya.
Namun, yang menjadi pertanyaan adalah apakah algoritma ini memang sengaja diatur seperti itu?
Bagaimana jika algoritma TikTok di Indonesia diatur dengan cara yang lebih ketat?
Berbeda dengan China, di Indonesia, TikTok tidak memiliki regulasi algoritma khusus untuk konten yang ditampilkan di FYP.
Algoritma TikTok di Indonesia lebih bersifat bebas, berdasarkan analisis pengguna terhadap apa yang sering mereka tonton, sukai, atau komentari.
Akibatnya, FYP di Indonesia menjadi beragam, mulai dari hiburan, komedi, tren viral, hingga konten edukatif.
Kebebasan algoritma ini membawa dampak negatif, yaitu munculnya banyak konten yang tidak relevan dan kurang bermanfaat.
Terkadang, konten yang muncul di FYP bisa mengarah pada kebiasaan buruk atau memengaruhi pola pikir pengguna secara negatif.
Melihat perbedaan signifikan ini, pertanyaan pun muncul: apakah Indonesia perlu mengikuti regulasi seperti yang ada di China?
Dengan regulasi yang lebih tepat, konten di FYP TikTok Indonesia bisa lebih bermanfaat dan mendidik bagi para penggunanya.
Pemerintah dan platform media sosial perlu bekerja sama untuk menciptakan lingkungan digital yang sehat dan baik, terutama bagi generasi muda.
Mengingat TikTok kini telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di Indonesia, langkah ini penting untuk menciptakan dampak yang positif bagi perkembangan sosial dan budaya digital di tanah air.***