SERAYUNEWS— Hari Teater Sedunia dirayakan setiap tanggal 27 Maret. Institut Teater Internasional atau ITI pada 1961 memprakarsai perayaan ini.
Hari Teater Sedunia menjadi pengingat akan pentingnya seni peran teater di masyarakat, serta sebagai apresiasi terhadap semua jenis teater di seluruh dunia.
Tujuan Hari Teater Sedunia ialah memberi kesempatan kepada komunitas teater untuk mempromosikan karya mereka dalam skala besar. Salah satu kekayaan teater Indonesia adalah seni bertutur.
Di pesisir utara Jawa Tengah dan Jawa Timur, ada Kentrung, yang biasanya menampilkan cerita para Nabi atau Babad. Kemudian, di Jakarta ada kesenian bertutur dengan cerita Sohibul Hikayat, di Pemalang kesenian Rontolan, dan di Kebumen ada kesenian Mentiyet.
Di Bali juga ada jenis kesenian Cakepung ada yang menyebutnya seni pepaosan dan di Banyumas ada Dalang Jemblung.
Dalang Jemblung, kesenian teater tradisional dari daerah Banyumas yang biasanya dimainkan oleh empat orang pemain yang pertunjukannya mengandalkan kemahiran bertutur.
Jemblung berasal dari kata gemblung. Nama tersebut muncul karena dalam pertunjukannya, sang dalang seolah berbicara seorang diri, sehingga kerap orang sebut gemblung atau gila.
Konon, kata itu pertama kali muncul pada masa pemerintahan Raja Amangkurat I dari Kerajaan Mataram.
Pada zaman dahulu hidup seorang dalang bernama Ki Lebdojiwo. Tokoh idola Ki Lebdojiwo adalah Umardadi. Oleh karena itu, Ki Lebdojiwo sering menyebut dirinya dengan nama Jemblung Umarmadi.
Pada saat pemberontakan Trunajaya terhadap Mataram, Ki Lebdojiwo ikut lari bersama Amangkurat I untuk meninggalkan Mataram menuju Batavia. Di suatu persinggahan orang-orang meminta agar Ki Lebdojiwo membuat pertunjukan wayang.
Karena pelarian itu terburu-buru, dia tak sempat membawa wayang. Terpaksalah Ki Lebdojiwo melakukan pertunjukan tanpa wayang dan tanpa iringan. Karena kemahiran Ki Lebdojiwo, pertunjukan itu malah menarik penonton.
Mulai saat itulah pertunjukan tanpa wayang dan iringan itu disebut Wayang Jemblung. Masyarakat memberikan nama itu karena tokoh ceritanya adalah Jemblung Umarmadi.
Ciri utama Dalang Jemblung adalah pementasannya tanpa wayang. Kemampuan mengolah suara menjadi kunci teater ini. Dengan kemampuan suaranya, para pemainnya dapat menggambarkan suasana cerita, kejadian dalam cerita, dan dapat pula menggambarkan berbagai tokoh dan berbagai watak.
Dengan kemampuan mengolah suara inilah pertunjukan ini dapat menjadi begitu menarik dan tidak membosankan. Selain itu di tengah pertunjukan itu juga ada selingan humor yang menjadi kegemaran para penonton. Humor itu merupakan khas Banyumas dan pengucapannya dengan dialek Banyumasan.
Pementasan Dalang Jemblung terdiri dari empat orang pemain. Pembagiannya, satu orang berfungsi sebagai juru bicara, dua orang berfungsi sebagai peraga, dan satu orang sebagai pesinden.
Bentuk pementasannya pun terbilang sangat sederhana dan bisa di dalam rumah. Saat pementasan, empat orang pemain kesenian itu duduk berkeliling. Kemudian di tengahnya terdapat sebuah meja kecil lengkap dengan kudhi, yaitu semacam pisau khas Banyumas.
Fungsi kudhi di atas meja itu adalah sebagai senjata apabila ada adegan perang. Sementara itu, pakaian para pemerannya merupakan khas Banyumas yang terdiri dari blangkon, jas tutup atau surjan, kain batik, dan sandal selop untuk alas kakinya.
Cerita dalam pementasan ini berasal dari sastra lisan yang memang sudah masyarakat kenal. Jadi, para pemainnya tinggal melakukan improvisasi memainkan tokoh-tokoh yang ada di dalam cerita. Secara turun temurun, mereka juga sudah mengikuti pendahulunya dalam membawakan isi cerita.
Seiring waktu, cerita makin beragam. Tak hanya mengangkat cerita pewayangan, kesenian ini juga mengangkat cerita tentang kisah-kisah seputar Islam dan perjuangan.
Selain itu, Dalang Jemblung juga menyebar ke daerah Ponorogo. Di tempat itu, kesenian Dalang Jemblung dimodifikasi dengan seni reog. Di Blitar, kesenian Dalang Jemblung dibawakan dengan iringan gamelan yang dikolaborasikan dengan musik organ.*** (O Gozali)