SERAYUNEWS — Etnis Tionghoa mempunyai posisi yang sama seperti etnis lainnya sebagai warga bangsa Indonesia. Perayaan Imlek 2024 ini, tidak ada salahnya untuk mengingatkan kembali ajakan Gus Dur, yaitu tidak menyebut lagi orang Cina tetapi orang Tionghoa.
Terlebih sudah ada Keppres No. 12 Tahun 2014, semua sektor pemerintahan maupun media, sudah tidak ada lagi penggunaan istilah Cina. Mereka sudah menggunakan istilah resmi, yaitu Tionghoa.
Posisi etnis ini mengalami penyingkiran sejak era Suharto. Era Reformasi mengembalikan hak mereka sebagaimana seharusnya warga negara Indonesia.
Awal kemerdekaan, orang-orang Tionghoa secara terbuka dapat melakukan perayaan Imlek. Mereka bebas menggunakan bahasa Mandarin, memeluk agama Konghucu, punya surat kabar berbahasa Mandarin, menyanyikan lagu Mandarin, dan memiliki nama Tionghoa, sampai bermain barongsai dan lainnya.
Tak hanya itu, bahkan Sukarno juga mengeluarkan maklumat boleh mengibarkan bendera kebangsaan Tiongkok dalam setiap hari raya bangsa Tionghoa.
Sukarno juga mengeluarkan Penetapan Pemerintah Nomor 2/OEM-1946 tentang hari-hari raya umat beragama.
Sukarno menjadikan tiga hari raya Tionghoa (Imlek, wafatnya Khonghucu, dan Ceng Beng) sebagai hari libur resmi.
Singkatnya di era Sukarno, etnis Tionghoa masih mempunyai ruang bebas dari segi politik dan budaya.
Etnis Tionghoa tetap memiliki ruang untuk berpolitik, mengekspresikan dan melestarikan budaya, dan menyatakan identitas ketionghoaan di arena publik.
Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No.14/1967 tentang pembatasan Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat Cina pada 6 Desember 1967.
Instruksi tersebut menetapkan seluruh upacara agama, kepercayaan, dan adat istiadat Tionghoa hanya boleh masyarakat rayakan di lingkungan keluarga dan dalam ruangan tertutup. Oleh karena itu, perayaan imlek saat masa Soeharto umumnya tidak ada atau berlangsung tersembunyi.
Perayaan-perayaan pesta agama dan adat istiadat Cina dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam lingkungan keluarga, bunyi poin kedua dalam Nomor 14 tahun 1967.
Sosiolog Ariel Heryanto dalam bukunya Identitas dan Kenikmatan mencatat beberapa pelarangan budaya yang rezim Orba lakukan di bawah kepresidenan Soeharto selama lebih dari tiga dekade.
“Hingga berakhirnya abad 20, aksara Cina termasuk daftar barang terlarang seperti halnya peledak… Hingga awal 1990-an, senam popular Cina, lagu Mandarin di pusat karaoke dan penjual kue-kue Cina dilarang,” tulis Ariel pada bukunya (halaman 208).
Soeharto juga mengeluarkan Surat Edaran No.06/Preskab/6/67, yang memaksa orang-orang Tionghoa harus mengubah namanya menjadi nama yang berbau Indonesia. Bahkan, saat itu ada badan khusus untuk mengawasi mereka seperti Badan Koordinasi Masalah Cina (BKMC) yang menjadi bagian dari Badan Koordinasi Intelijen (Bakin).
Kemudian, pada masa pemerintahan Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, ia mengeluarkan Keppres No.6/2000 tentang pencabutan Inpres No.14/1967 pada 17 Januari 2000.
Sejak pencabutan Inpres tersebut, masyarakat Tionghoa mendapatkan kebebasan lagi untuk menganut agama, kepercayaan, dan adat istiadat. Mereka juga bisa merayakan upacara-upacara agama seperti imlek, Cap Go Meh, dan sebagainya secara terbuka.
Satu tahun kemudian pada 2001, Hari Raya Imlek ditetapkan sebagai hari libur nasional. Menteri Agama RI mengeluarkan Keputusan No.13/2001 tentang penetapan Hari Raya Imlek sebagai Hari Libur Nasional Fakultatif.
Hari libur fakultatif adalah hari libur yang tidak pemerintah pusat tentukan secara langsung, melainkan oleh pemerintah daerah setempat atau instansi masing-masing.
Kini, penetapan Hari Raya Imlek sebagai hari libur nasional pemerintah tentukan melalui SKB Menteri.*** (O Gozali)