SERAYUNEWS– Kasus judi online semakin hari kian meresahkan. Berdasarkan data Satgas Pemberantasan Judi Online, jumlah pemain judi online di Indonesia telah menyentuh angka 2,37 juta pemain.
Dari keseluruhan angka tersebut, ada fakta miris yang mengejutkan di dalamnya. Pasalnya, 2 persen dari pemain judi online ini adalah berusia di bawah 10 tahun atau sekitar 80 ribu anak.
Tak hanya itu, berdasarkan laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2023, transaksi judi online mencapai Rp.327 triliun. Dan, di kuartal pertama 2024 menyentuh Rp100 triliun.
Lantas, bagaimanakah hukum menafkahi keluarga dengan hasil judi online? Temukan jawabannya dari penjelasan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Selain melanggar peraturan perundang-undangan yang berlangsung di Indonesia, salah satunya UU ITE pasal 27 ayat (2), judi online atau judol juga bertentangan dengan Hukum Islam.
Penjelasan terkait dengan larangan berjudi itu berdasarkan firman Allah SWT dalam QS Al-Maidah [50] ayat 90:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْاَنْصَابُ وَالْاَزْلَامُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطٰنِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.”
Dalam ayat tersebut, telah dengan jelas bahwa Allah SWT melarangan pratik judi yang merupakan salah satu perbuatan yang keji dan termasuk perbuatan setan. Tak hanya itu, Allah SWT juga memberikan perintah kepada umatnya untuk menjauhi perbuatan tersebut agar beruntung.
Selanjutnya, Sekretaris Komisi Fatwa MUI, KH Miftahul Huda mengatakan, dampak mudaratnya sangat luar biasa di antaranya memicu permusuhan, kemarahan, hingga pembunuhan. Selain itu, judi membuat seseorang menjadi malas mengerjakan ibadah serta jenuh hatinya dari mengingat Allah SWT.
Kiai Miftah, begitu akrab disapa pum menekankan, judi dapat menyebabkan kemiskinan dan merusak hubungan rumah tangga. Hal ini, akibat keinginan memenuhi nafsu untuk bermain judi, seseorang akan dipertaruhkan harta yang dimilikinya.
“Pada akhirnya dia melupakan kewajibannya untuk memenuhi kebutuhan istri dan anaknya. Bahkan bagi penjudi berat terkadang dapat mempertaruhkan anak dan istrinya,” kata dia, dikutip serayunews.com dari mui.or.id, Sabtu (22/6/2024).
Berbicara mengenai hukum menghidupi keluarga dengan harta hasil perjudian,
Kiai Miftah menuturkan, jika seseorang yang sudah dewasa (termasuk anak dan istri) telah mengetahui bahwa sesuatu yang dimakannya itu adalah sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW, maka hal itu wajib ditinggalkan, artinya jangan dimakan.
“Sebab, jika sesuatu yang haram dan diketahui bahwa itu berasal dari yang haram, maka kelak di akhirat akan dituntut,” tuturnya.
Kiai Miftah menerangkan, darah yang mengalir dalam tubuh dari hasil sesuatu yang haram maka akan membentuk tubuh, jiwa dan tabiat yang tidak baik.
Kiai Miftah mengingatkan, apabila seseorang sudah mengetahui bahwa makanan yang dimakan merupakan hasil judi, maka seyogianya pihak keluarga tidak memakannya.
“Terkecuali dalam kondisi darurat, misalnya kalau tidak memakan makanan tersebut akan menimbulkan celaka dan kerusakan, maka dibolehkan memakannya dengan sekadar untuk bertahan hidup,” ujar dia.
Lebih lanjut, Kiai Miftah menyebut, menafkahi keluarga dari harta yang haram akan menimbulkan dampak negatif, baik pemberi maupun penerima nafkah itu sendiri.
“Bagi pemberi nafkah, ia akan mendapatkan dosa dan mendapat murka dari Allah SWT. Bagi penerima nafkah, ia akan mendapatkan harta yang haram dan akan terbiasa dengan hal-hal yang haram,” ujarnya menegaskan.