
SERAYUNEWS- Umat Kristiani dan Katolik bakal merayakannya Natal dengan penuh sukacita. Sementara sebagian masyarakat non-Kristen turut menyampaikan ucapan selamat kepada keluarga, rekan kerja, atau tetangga yang merayakan.
Namun, di kalangan umat Islam, pertanyaan tentang boleh atau tidaknya mengucapkan “Selamat Natal” selalu menjadi diskusi yang berulang setiap tahun. Isu ini mengemuka karena tidak ada dalil eksplisit dalam Al-Qur’an maupun Hadis yang secara tegas membolehkan atau melarang ucapan tersebut.
Para ulama berbeda pendapat dan masyarakat pun mengikuti pandangan yang sesuai dengan keyakinannya. Melansir berbagai sumber, berikut penjelasan lengkap terkait hukum mengucapkan selamat Natal menurut dua pandangan utama ulama:
Tidak ada dalil eksplisit dalam Al-Qur’an maupun hadis yang secara langsung membahas hukum mengucapkan “Selamat Natal”.
Karena itu, masalah ini menjadi ruang ijtihad ulama dan memunculkan dua pendapat besar: mengharamkan dan membolehkan dengan batasan.
Indonesia sebagai negara yang plural membuat isu ini semakin relevan, terutama dalam konteks menjaga kerukunan antarumat beragama.
Beberapa ulama kontemporer seperti Habib Husein Ja’far Al-Haddar, Quraish Shihab, hingga sebagian pandangan di lingkungan Majelis Ulama Indonesia (MUI) memandang ucapan Natal sebagai sesuatu yang dibolehkan, selama tidak mengakui akidah agama lain.
1. Dalil Al-Qur’an: QS. Maryam Ayat 33
Pertama dalam surat Maryam ayat 33 yang memberikan ucapan keselamatan atas kelahiran Nabi Isa AS. Salah satu nabi dalam keyakinan umat Islam.
وَالسَّلٰمُ عَلَيَّ يَوْمَ وُلِدْتُّ وَيَوْمَ اَمُوْتُ وَيَوْمَ اُبْعَثُ حَيًّا
was-salâmu ‘alayya yauma wulittu wa yauma amûtu wa yauma ub’atsu hayyâ
Artinya: “Kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku (Isa as) pada hari kelahiranku, hari wafatku, dan hari aku dibangkitkan hidup (kembali)”. (QS. Maryam: 33)
Ayat ini dipahami sebagai landasan bahwa merayakan kelahiran Nabi Isa yang juga nabi dalam Islam bukan hal yang bertentangan dengan akidah selama tidak mengakui konsep ketuhanan dalam ajaran Nasrani.
2. Hadis tentang Sikap Rasulullah kepada Yahudi
Dalam sebuah riwayat, Nabi Muhammad SAW berdiri menghormati jenazah seorang Yahudi yang melintas. Ketika sahabat bertanya, beliau menjawab:
“Bukankah dia juga manusia?”
Ini sering dijadikan argumentasi bahwa menghormati pemeluk agama lain selama tidak terkait ritual ibadah adalah tindakan mulia.
3. Prinsip Toleransi: QS. Al-Mumtahanah Ayat 8
Alasan kedua, memberikan kebaikan dan rasa bahagia serta keamanan bagi umat non muslim yang tidak memerangi umat Islam, khususnya kerabat kita sendiri, adalah diperbolehkan. Dalam al Quran Allah berfirman :
لَّا یَنۡهَىٰكُمُ ٱللَّهُ عَنِ ٱلَّذِینَ لَمۡ یُقَـٰتِلُوكُمۡ فِی ٱلدِّینِ وَلَمۡ یُخۡرِجُوكُم مِّن دِیَـٰرِكُمۡ أَن تَبَرُّوهُمۡ وَتُقۡسِطُوۤا۟ إِلَیۡهِمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ یُحِبُّ ٱلۡمُقۡسِطِینَ
“Allah tidak melarangmu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)
Ucapan Natal dipandang sebagai bentuk kebaikan sosial, bukan pengakuan teologis.
Ulama seperti Ustaz Adi Hidayat dan sejumlah ulama Timur Tengah berpendapat bahwa ucapan Natal tidak diperbolehkan bagi Muslim.
1. Alasan Aqidah
Ucapan tersebut dianggap berpotensi:
⦁ Diartikan sebagai pengakuan kelahiran “anak Tuhan”
⦁ Mendukung konsep Trinitas
⦁ Bertentangan dengan prinsip tauhid “la ilaha illallah”
2. Larangan Tasyabbuh (Menyerupai Ritual Agama Lain)
Hadis Rasulullah SAW:
“Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari mereka.” (HR. Abu Dawud)
Karena Natal dianggap sebagai bagian dari ibadah umat Kristiani, maka mengucapkannya dipandang menyerupai peribadatan.
3. Dalil QS. Maryam 25: Waktu Kelahiran Isa Tidak Di Musim Dingin
Ayat itu menggambarkan Maryam menggoyang pohon kurma yang hanya berbuah di musim panas.
Karena itu, sebagian ulama memandang tanggal 25 Desember bukan hari kelahiran Isa AS, sehingga tidak layak dirayakan oleh Muslim.
Sebagian ulama yang membolehkan tetap memberikan batasan tegas:
⦁ Tidak ikut menghadiri ibadah Natal
⦁ Tidak mengakui konsep ketuhanan dalam ajaran Nasrani
⦁ Tidak meyakini 25 Desember sebagai tanggal lahir Isa
⦁ Ucapan diberikan dalam rangka menjaga hubungan sosial, bukan pengakuan aqidah
Ucapan Natal dipandang sebagai bentuk silaturahmi dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan).
Ada pendapat yang melarang ucapan Natal dengan alasan menjaga kemurnian aqidah dan menghindari tasyabbuh.
Ada pendapat yang membolehkan dengan syarat, terutama untuk menjaga toleransi sosial dan hubungan antarmanusia.
Setiap Muslim memiliki keleluasaan mengikuti pendapat yang paling diyakini, selama tidak menimbulkan perpecahan.
Perbedaan ini seharusnya menjadi bagian dari kekayaan khazanah fikih, bukan pemicu konflik.
Semoga penjelasan ini membantu memahami polemik hukum ucapan Natal dalam Islam. Sikap terbaik selalu berada pada keseimbangan antara menjaga kemurnian aqidah dan merawat hubungan baik sesama manusia.
Jika Anda memiliki angle berita lain atau ingin menambah infografik, saya bisa menyiapkannya.