Potret kemiskinan pernah terjadi di Banyumas di awal dekade 1930-an. Pada tahun 1931, tak ada negara yang mau mengimpor hasil pertanian Hindia Belanda. Hal itu karena krisis ekonomi dunia melanda.
Imbas dari melesunya perekonomian, pada tahun 1933, pabrik-pabrik di Banyumas (kini dikenal sebagai eks Karesidenan) tutup. Misalnya, pabrik gula di Kalibagor, Klampok, Sumpiuh, Bojong, tutup karena krisis ekonomi.
Maka, imbasnya beribu-ribu orang terdampak kehilangan mata pencarian sebagai buruh pabrik gula dan petani yang terkait dengan produksi gula. Petani tebu juga harus membayar uang sewa kontrak tanah, sementara ekonomi melesu. Parahnya lagi, petani padi juga mengalami masalah. Tanaman padi tak bisa diandalkan karena kemarau panjang dan adanya hama tikus.
Potret kesusahan terlihat nyata kala itu. Pegadaian penuh dengan barang yang tak bisa ditebus. Imbasnya barang dijual dengan harga murah. Bahkan, barang-barang di rumah digadaikan, sampai atap rumah pun digadaikan.
Bukan hanya kekurangan uang, rakyat khususnya yang ada di desa juga kekurangan makanan. Di desa-desa ada banyak warga yang diketahui sudah tidak makan nasi dalam dua hari, tiga hari, atau lebih. Bahkan, karena sulitnya makan nasi, ada warga yang terpaksa makan daun-daunan. Ada juga yang makan ares pohon pisang.
Kondisi itu membuat warga mudah terserang penyakit. Penyakit yang diderita terutama penyakit kulit seperti gudig, koreng, kaki bengkak, patek dan borok. Selain itu, penyakit influenza dan malaria. Benar-benar kondisi yang mengenaskan di masa yang disebut “malaise” itu.
Banyak warga yang mengharapkan dikirim ke tanah seberang atau Sumatera. Harapannya agar kehidupan menjadi lebih baik. Namun, dari yang banyak meminta transmigrasi itu, kurang dari 50 persen yang memenuhi syarat. Sebab, lebih dari 50 persen yang lain dalam kondisi terkena penyakit parah seperti malaria.
Mereka yang memenuhi syarat secara fisik pun ternyata memiliki masalah. Sebab, mereka masih banyak utang di Banyumas. Kondisi ini membuat pemerinta kelimpungan mencari penyelesaiannya. Setidaknya utang mereka terlunasi sebelum pergi ke tanah seberang.
Untungnya, masa susah ini berangsur hilang pada tahun 1936 ketika kondisi perekonomian membaik. Hasil tanaman pangan di Banyumas pun mulai membaik. Kondisi kesehatan masyarakat juga membaik.
Pada tahun 1938, pembangunan pun kembali dilakukan. Salah satunya membangun sentra listrik di Ketenger, Kalipagu, di lereng Gunung Slamet.
Referensi:
Yustina Hastrini Nurwanti, Darto Harnoko, Theresiana Ani Larasati: Sejarah Perkembangan Ekonomi dan Kebudayaan di Banyumas Masa Gandasubrata Tahun 1913-1942