SERAYUNEWS – Ketua Gabungan Organisasi Wanita (GOW) Kabupaten Banjarnegara, Hj. Sri Rejeki Indarto, mengajak kaum perempuan untuk berani bersuara ketika mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
Ia menegaskan, keberanian perempuan untuk speak up adalah langkah penting dalam memutus rantai kekerasan dan membuka jalan bagi perlindungan serta pemulihan korban.
“Kami mengimbau seluruh perempuan untuk tidak takut bersuara jika menjadi korban kekerasan. Suara perempuan sangat berarti agar kasus tidak lagi tersembunyi. GOW Banjarnegara siap menjadi mitra masyarakat dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak,” kata Sri saat membuka Sosialisasi Pencegahan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak di Sasana Bhakti Praja Banjarnegara, Selasa (7/10/2025).
Sri berharap kegiatan tersebut dapat menumbuhkan kesadaran kolektif agar perempuan tidak lagi diam saat menjadi korban.
Ia juga menekankan pentingnya peran komunitas untuk menjadi garda terdepan dalam mendampingi korban dan menumbuhkan keberanian untuk melawan kekerasan.
Kegiatan sosialisasi diikuti oleh perwakilan anggota GOW dari seluruh kecamatan di Banjarnegara dengan mengangkat tema “Luka yang Tak Terlihat: Dampak Psikologis KDRT”. Acara menghadirkan narasumber dari Pengadilan Agama Banjarnegara dan psikolog RSUD Banjarnegara.
Program ini merupakan bentuk nyata kepedulian GOW terhadap meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Terlebih, sebagian besar masih belum terungkap ke publik.
Hakim Pengadilan Agama Banjarnegara, Hidayaturohman, menjelaskan bahwa meningkatnya permohonan dispensasi nikah turut menjadi pemicu kasus KDRT.
“Banyak pengajuan dispensasi nikah dilakukan karena kehamilan di luar nikah. Kami pernah menangani kasus di mana pasangan yang menikah masih berusia belasan dan hanya lulusan sekolah dasar. Kondisi seperti ini sangat rentan menimbulkan konflik rumah tangga, termasuk kekerasan,” katanya.
Ia menekankan pentingnya pemahaman terhadap Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) sebagai landasan hukum untuk melindungi korban dan mendukung pemulihan pascakekerasan.
Sementara itu, Psikolog RSUD Banjarnegara Gones Saptowati memaparkan bahwa hingga 4 September 2025, kasus KDRT yang tercatat secara nasional mencapai 10.240 perkara. Namun, angka itu diyakini hanya sebagian kecil dari kenyataan di lapangan.
“Data itu hanya menggambarkan kasus yang dilaporkan. Masih banyak korban yang memilih diam karena takut, malu, atau tidak tahu harus mengadu ke mana,” ujarnya.
Gones menjelaskan bahwa pernikahan usia dini sering menjadi akar dari berbagai persoalan keluarga, seperti kekerasan fisik, tekanan ekonomi, gangguan mental, hingga risiko stunting pada anak.
Ia menegaskan, KDRT tidak hanya berupa kekerasan fisik, tetapi juga seksual, verbal, ekonomi, dan psikologis.
“Penyelesaian kasus KDRT bukan hanya dengan hukuman bagi pelaku, tetapi juga perlu dilakukan rehabilitasi dan konseling agar siklus kekerasan dapat diputus,” katanya menutup.