
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Prof Dr Suwarno yang merupakan pakar tanah longsor mengungkapkan, sebagian besar wilayah Banyumas merupakan daerah rawan longsor. Bahkan 30 persen lahan di Kabupaten Banyumas, masuk dalam kategori sangat rawan atau zona merah longsor.
Purwokerto, serayunews.com
Tingginya kasus longsor di Kabupaten Banyumas, menurut Prof Suwarno, terjadi karena perilaku manusianya.
“Longsor itu akan terjadi, kalau lerengnya terganggu. Sepanjang lerengnya itu tidak terganggu, meski itu zona merah insyaallah tidak longsor. Lereng terganggu itu sebagian 60 persen karena perilaku manusia dalam pengolaan lahan,” kata dia.
Suwarno menambahkan, pengolahan lahan tersebut yakni menanam tanaman besar yang terlalu rapat, sehingga membuat beban lereng cukup tinggi. Kemudian membuat terasering, hingga mencetak sawah-sawah basah di daerah perbukitan.
“Lereng itu harusnya tidak untuk pertanian, biarkan alami saja atau tanami tanaman yang bisa menghasilkan,” ujarnya.
Secara alami, kondisi alam di seluruh wilayah Banyumas raya seperti di Banyumas, Purbalingga dan Banjarnegara, menurutnya relatif sama. Tetapi yang membedakan hingga terjadi tanah longsor, yakni cara pengolahan lahan yang berbeda-beda.
“Sekarang ini Banyumas justru relatif menurun, berbeda dengan Banjarnegara. Karena pengolahan lahan di Banyumas, relatif sudah lebih baik,” katanya.
Ia mencontohkan, orang Banyumas jarang menanam buah salak. Sedangkan di Banjarnegara, banyak sekali petani menanam salak yang membuat lereng atau daerah rawan longsor semakin rawan.
“Orang Banyumas sekarang sudah pintar, lereng ditanami tanaman besar yang jarang, di sela-sela itu ditanami Kapulaga, tanpa membuat terasering. Ini berlaku juga di dataran tinggi Dieng, alih fungsi lahan. Lebih-lebih kentang, itu memicu erosi, berikutnya longsor,” ujarnya.