BANYUMAS – Setelah penyidik Polri menetapkan Ahok tersangka, seluruh warga wajib tunduk dan taat kepada hukum yang berlaku sebagai konsekwensi dari negara hukum.
Lembaga Bantuan Hukum Laksi (LBH LAKSI) menilai polemik penistaan agama merupakan peristiwa pidana murni dan tidak ada kaitan dengan politik.
Ahli Hukum Pidana dan Provisional Chairman Komitte Kerja Advokat Indonesia (KKAI), Suhardi dalam Forum Group Discusion (FGD) Suhardi Somomoeljono di Jakarta mengatakan, jika tidak tertangani dengan cepat akan memunculkan konflik horizontal. Pasalnya, kasus penistaan agama yang telah mentersangkakan Gubernur DKI Jakarta non aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus diselesaikan sesuai tata cara hukum pidana.
”Kasus ini merupakan peristiwa pidana murni tidak terkait dengan perkara yang bersifat politis sehingga wajib diselesaikan berdasarkan prosedur hukum pidana yang berlaku,” jelasnya dalam siaran persnya yang diterima serayunews.com, Minggu (20/11).
Menurutnya, proses hukum yang berlaku baik di tingkat Penyidikan kepolisian, Penuntutan kejaksaan, serta persidangan di pengadilan terhadap jalannya tahapan proses penegakan hukum (law enforcement) secara hukum, masyarakat tidak diperkenankan melakukan tindakan yang bersifat menekan secara anarkis dengan melibatkan massa guna mempengaruhi penegak hukum dalam menjatuhkan suatu putusan.
“Pengerahan massa secara besar-besaran pasca ditetapkannya Ahok tersangka yang dilakukan oleh kelompok masyarakat baik muslim maupun non muslim dapat dipandang sebagai tindakan yang berlebihan yang dapat menimbulkan kesan negatif tidak mempercayai negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya dalam menjalankan penegakan hukum,” paparnya.
Sosialogi Agama, Bambang Pranowo berpandangan, dalam delik penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia secara sosiologi hukum dapat dikategorikan sebagai delik yang rawan sosial. Sebabnya, hal itu menyangkut dimensi keyakinan batin orang atau kelompok terhadap agama yang dianutnya. Dan ini rawan terjadi konflik horizontal.
Tindak Pidana baik yang bermuatan dalam kategori kejahatan, maupun yang berkategori pelanggaran dalam pelaksanaannya memperhatikan salah satu dari fungsi hukum pidana yaitu pentingnya melakukan upaya preventif dan tidak perlu menunggu munculnya akibat. Maka aparat penegak hukum idealnya langsung bekerja begitu ancaman terhadap kepentingan hukum yang hendak dilindungi muncul. Misalnya dalam tindakan menghasut, penghujatan terhadap Tuhan.
“Masyarakat dan atau siapapun baik langsung maupun tidak langsung mengganggu jalannya proses peradilan maka dapat dikenakan sanksi pidana berdasarkan hukum yang berlaku,” terangnya.
Sebelumnya, Masyur Efendi mengatakan, penggiringan opini publik dalam suatu perkara yang sedang berproses di pengadilan dapat menghasilkan putusan pengadilan yang sesat. Dengan demikian proses hukum (law enforcement) harus benar-benar dijaga nilai-nilai independensinya. Hukum dalam pelaksanaannya tidak dibenarkan dilakukan intervensi oleh siapapun sehingga hukum benar-benar mampu berdiri sebagai wasit yang adil itulah makna dari hukum sebagai panglima.
“Jika Penyidik Kepolisian menyimpulkan peristiwa pidana penistaan agama yang diduga dilakukan oleh Ahok dinyatakan tidak cukup bukti dan atau bukan merupakan tindak pidana sehingga penyidikan dihentikan (SP3) maka pihak ketiga yang memiliki kepentingan dapat mengajukan gugatan Pra Peradilan di Pengadilan negeri setempat guna membatalkan SP-3 dimaksud,” pungkasnya.(sn)