SERAYUNEWS – Setiap tanggal 23 September diperingati sebagai Hari Bahasa Isyarat Internasional (International Day of Sign Languages, IDSL).
Momentum ini menjadi ajang penting untuk menyuarakan hak, kesetaraan, dan pengakuan terhadap bahasa isyarat serta komunitas tunarungu di seluruh dunia.
Tahun 2025, tema yang diangkat adalah:
“No Human Rights Without Sign Language Rights” (“Tak Ada Hak Asasi Tanpa Hak Bahasa Isyarat”).
Tanggal 23 September dipilih bukan tanpa alasan. Pada hari tersebut di tahun 1951, didirikan World Federation of the Deaf (WFD), yaitu federasi internasional bagi organisasi-organisasi tunarungu yang menjadi suara kolektif untuk advokasi hak-hak tunarungu di dunia.
Selanjutnya, pada 19 Desember 2017, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi mengesahkan resolusi untuk menetapkan 23 September sebagai Hari Bahasa Isyarat Internasional.
Peringatan pertama kali digelar pada 2018. Sejak saat itu, setiap tahun selalu diangkat tema berbeda dengan tujuan mengedukasi publik tentang pentingnya pengakuan bahasa isyarat, aksesibilitas, serta nilai budaya komunitas deaf (tunarungu).
Tema tahun ini tegas menyuarakan bahwa pengakuan hak bahasa isyarat bukan hanya soal akses komunikasi, tetapi juga hak asasi manusia secara menyeluruh.
Bahasa isyarat adalah pilar penting agar komunitas tunarungu dapat menikmati hak-hak lain secara penuh, mulai dari pendidikan, kesehatan, akses informasi, hingga partisipasi sosial.
Tema ini juga selaras dengan rangkaian International Week of the Deaf yang berlangsung dari 22 sampai 28 September 2025, dengan mengusung tema yang sama.
Bahasa isyarat bukan sekadar alat komunikasi bagi mereka yang kehilangan pendengaran. Ia adalah bahasa alami dengan tata bahasa sendiri, bukan hanya “pantomim” atau “gesture” acak.
Penggunaan bahasa isyarat sejak dini sangat berpengaruh terhadap perkembangan pendidikan, kemampuan sosial, dan identitas budaya tunarungu. Sebaliknya, ketidakpengakuan bahasa isyarat bisa menimbulkan hambatan besar.
Anak-anak tunarungu bisa kehilangan kesempatan pendidikan setara, pelayanan publik terhambat karena tidak ada penerjemah, informasi krusial sulit diakses, hingga diskriminasi sosial yang meningkat.
Tema tahun ini mengingatkan bahwa hak bahasa isyarat adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia.
Beberapa cara yang bisa dilakukan di Indonesia maupun di negara lain, antara lain:
Hari Bahasa Isyarat Internasional bukan hanya sekadar hari peringatan, melainkan panggilan untuk bertindak.
Tema tahun ini menegaskan bahwa tanpa hak bahasa isyarat, hak asasi manusia lainnya akan pincang bagi komunitas tunarungu. Pengakuan, akses, dan inklusivitas harus menjadi bagian dari kebijakan, budaya, serta sistem di setiap negara.
Di Indonesia, penerapan hak bahasa isyarat masih menghadapi berbagai tantangan.
Namun, setiap 23 September menjadi momentum penting agar masyarakat, pemerintah, dan organisasi terus mengambil peran dalam mewujudkan perubahan nyata.