
SERAYUNEWS-Di halaman Akademi Kepolisian (Akpol) Semarang, derap langkah taruna pagi itu terdengar serempak, ritmis, dan berwibawa. Para calon pemimpin bangsa itu penuh semangat disiplin yang tak pernah surut. Namun di balik barisan tegas itu, ada gelombang gagasan baru yang sedang tumbuh, yaitu gagasan bahwa taruna tidak hanya harus tangguh dalam menegakkan hukum, tetapi juga peka terhadap denyut kehidupan masyarakat yang mereka layani, Senin (3/11/2025)
Adalah Nugraha Aristawarman, S.I.K., M.M., seorang perwira Polri yang bertugas sebagai tenaga pendidik di Akpol, yang menggagas perubahan besar itu. Melalui proyek perubahannya bertajuk “Transformasi Pendidikan Kepemimpinan Taruna Akpol Berbasis Kolaborasi untuk Pengentasan Kemiskinan Berkelanjutan,” Nugraha ingin mendorong Akpol melahirkan pemimpin-pemimpin yang tak hanya cerdas secara teknis, tetapi juga memiliki empati sosial yang kuat.
“Selama ini kita unggul di bidang penegakan hukum, tetapi kurang menyentuh persoalan sosial ekonomi masyarakat, padahal akar dari banyak persoalan keamanan sering kali berasal dari ketimpangan dan kemiskinan,” ujarnya.
Kegelisahan itu berangkat dari data yang tak bisa diabaikan. Meski angka kemiskinan ekstrem nasional pada Maret 2025 telah turun menjadi 0,85 persen atau sekitar 2,38 juta orang, kesenjangan antarwilayah masih tinggi. Di Papua Pegunungan, misalnya, kemiskinan ekstrem mencapai 30,03 persen, sedangkan di Bali hanya 3,72 persen. Di Jawa Tengah, tempat Akpol berdiri, tingkat kemiskinan masih berada di angka 9,48 persen dengan lebih dari 3,3 juta warga hidup di bawah garis sejahtera.
“Angka-angka ini bukan sekadar statistik. Di baliknya ada wajah-wajah manusia yang berjuang bertahan hidup, dan di situlah seharusnya kepemimpinan Polri hadir,” kata Nugraha pelan.
Dari pemikiran itulah ia memperkenalkan model pembelajaran baru berbasis Project-Based Learning (PBL). Melalui metode ini, taruna Akpol tidak hanya belajar di ruang kelas, tetapi langsung terjun ke lapangan untuk memahami realitas sosial. Mereka mendampingi petani, pelaku usaha kecil, melatih warga desa mengembangkan potensi lokal, dan berkolaborasi dengan berbagai instansi dalam proyek pemberdayaan ekonomi. Menurutnya, Taruna harus belajar dari masyarakat, bukan sekadar tentang masyarakat. Kepemimpinan itu bukan hanya soal memberi perintah, tapi tentang mendengar, memahami, dan berbuat.
Gagasan ini mendapat dukungan penuh dari Gubernur Akpol Irjen. Pol. Midi Siswoko, S.I.K., yang melihat proyek ini sebagai tonggak penting dalam arah baru pendidikan kepolisian. “Akpol bukan hanya tempat melahirkan penegak hukum, tetapi juga pemimpin bangsa. Kepemimpinan sejati tidak bisa lahir dari ruang kelas semata. Ia tumbuh dari empati, dari keberanian untuk memahami kesulitan orang lain,” ungkap Gubernur.
Menurutnya, proyek yang diinisiasi Nugraha ini telah membuka jalan baru bagi Akpol untuk terlibat lebih aktif dalam pembangunan sosial. Pihaknya ingin keamanan dan kesejahteraan berjalan beriringan. Taruna harus bisa melihat bahwa menjaga ketertiban juga berarti membantu masyarakat keluar dari lingkar kemiskinan.
Untuk mewujudkan hal itu, proyek ini melibatkan kolaborasi lintas sektor. Nugraha menggandeng Dinas Tenaga Kerja, Dinas Pertanian, lembaga perbankan, akademisi, hingga kelompok masyarakat sipil dalam sebuah model kemitraan yang disebut multi-helix. Melalui jejaring ini, taruna belajar bekerja lintas disiplin, memahami kebijakan publik, dan mencari solusi inovatif untuk pemberdayaan ekonomi di daerah-daerah miskin.
“Bayangkan taruna Akpol yang biasanya berlatih baris berbaris, kini membantu ibu-ibu di desa membuat produk olahan, mendampingi para petani dan menjualnya lewat marketplace,” ujar Nugraha tersenyum. “Itu bukan hanya latihan kepemimpinan, tapi juga latihan empati,” tandasnya.
Perubahan ini tak hanya membawa manfaat bagi masyarakat, tetapi juga bagi para taruna sendiri. Bagi mereka, pengalaman turun langsung ke lapangan membuka perspektif baru tentang arti kepemimpinan. Mereka belajar bahwa menjadi pemimpin bukan soal pangkat atau kekuasaan, tapi soal tanggung jawab dan kepedulian. Ketika Taruna berinteraksi dengan warga miskin, maka tumbuh kesadaran bahwa tugas polisi bukan sekadar menegakkan hukum, tapi juga menegakkan harapan.
Lebih lanjut Nugraha menyatakan, transformasi ini akan meninggalkan jejak jangka panjang bagi Akpol. Ia ingin pendidikan kepemimpinan di lembaga ini melahirkan perwira yang mampu berpikir sistematis, responsif terhadap dinamika sosial, dan siap menjadi penggerak perubahan di lapangan.
“Kalau polisi bisa memahami ekonomi rakyat, maka setiap kebijakan dan tindakan mereka akan lebih manusiawi,” ujarnya.
Gubernur Akpol menutup perbincangan dengan kalimat yang menancap dalam ingatan: “Ini bukan sekadar proyek perubahan. Ini cara kita menanamkan nurani ke dalam seragam,” tegasnya.
Dari kampus Akpol di Semarang, perubahan itu kini mulai bergerak. Para Taruna yang setiap pagi berbaris dengan tegap tak lagi hanya menyiapkan diri untuk menjadi penegak hukum, tetapi juga pembawa harapan bagi mereka yang hidup dalam kesulitan. Karena di negeri yang masih bergulat dengan kemiskinan, keamanan sejati bukan diukur dari berapa banyak kasus ditangani, melainkan dari berapa banyak senyum yang bisa kembali tumbuh di wajah rakyatnya. Dan mungkin, dari sana, kita akan melihat wajah baru kepolisian Indonesia yang tak hanya gagah di lapangan, tapi juga hangat di tengah masyarakat.