Pesta demokrasi pemilihan kepala daerah serentak sudah selesai, tak lama lagi, ada 545 wilayah punya pemimpin baru hasil Pilkada setentak 2024, yakni 37 gubernur, 415 bupati, dan 93 wali kota.
Kepala daerah terpilih tentu akan memiliki tanggung jawab besar dalam pembangunan, termasuk dalam menangani ancaman bencana yang terjadi di Indonesia, sebab hal ini tentu akan mengganggu pembangunan daerah.
Secara geografis, Indonesia terletak di wilayah rawan bencana, khususnya bencana alam. Ini buktikan dengan adanya Undang-undang No 24 tahun 2007 tentang penanggulangan bencana.
Beberapa ancaman bencana yang terjadi seperti banjir, tanah longsor, angin kencang, cuaca ekstrem, gempa bumi, tsunami, hingga kebakaran hutan. Dampak bencana ini tidak hanya mengancam keselamatan masyarakat, tetapi juga berpotensi memperlambat atau bahkan menggagalkan upaya pembangunan daerah di wilayah Indonesia yang memiliki kajian risiko bencana skala sedang-tinggi.
Para pemimpin kepala daerah yang terpilih oleh suara rakyat akan diuji oleh fakta ini. Tantangan bencana pasca Pilkada menjadi rumit, karena mencakup dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan yang saling terkait.
Opini publik ini akan mengulas tentang realita dengan tantangan yang dihadapi oleh kepala daerah yang baru dalam mengelola risiko bencana. Mulai dari strategi menghadapi bencana, hingga memberikan rekomendasi jika terjadi bencana, termasuk dampak terhadap pembangunan daerah.
Bencana alam menjadi tantangan signifikan bagi pembangunan daerah, karena bencana mmeberikan dampak yang luas dan kompleks. Secara langsung, bencana merusak infrastruktur fisik, seperti perumahan, jalan, jembatan, fasilitas kesehatan, dan sekolah serta fasilitas umum lainnya.
Dalam jangka panjang, kerusakan ini mengakibatkan lambatnya pertumbuhan ekonomi, terganggunya layanan publik, dan penurunan kualitas hidup masyarakat. Bencana juga berdampak pada psikososial masyarakat, terutama di daerah-daerah rawan. Trauma, kehilangan tempat tinggal, dan ancaman ekonomi sering kali menimbulkan beban tambahan bagi pemerintah daerah dalam pemulihan sosial. Jika tidak ditangani dengan baik, hal ini dapat memicu konflik sosial atau menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah.
Kepala daerah terpilih ini memiliki tantangan semakin rumit karena mereka harus menghadapi ekspektasi tinggi dari masyarakat yang menginginkan solusi cepat, sementara sumber daya dan kapasitas sering kali terbatas. Adapun tantangan Kepala Daerah yang baru terpilih dalam Penangganan Bencana meliputi :
(1). Transisi Kepemimpinan dan Sinkronisasi Kebijakan. Kepala daerah baru sering kali menghadapi hambatan dalam meneruskan program penanggulangan bencana yang telah ditentukan oleh para pemimpin sebelumnya. Kepemimpinan transisi yang tidak lancar dapat menghalangi atau menghambat kelanjutan program-program yang di usung pada visi misi para kepala daerah terpilih. Bahkan perlu keselarasan dan sinkronisasi antara kebijakan di tingkat daerah, provinsi, dan nasional sering kali menjadi tantangan, terutama jika kebijakan prioritas tidak sejalan.
(2) Keterbatasan Anggaran ini menjadi hal yang biasa di ungkapkan oleh pemerintah, salah satu kendala terbesar dalam pengelolaan bencana adalah keterbatasan anggaran. Sebagian besar daerah di Indonesia memiliki batasan fiskal yang membuat alokasi untuk penanggulangan bencana sering kali terabaikan. Bupati/Walikota dan Gubernur terpilih harus mampu mengatur anggaran secara efektif sambil mencari sumber pendanaan alternatif untuk mendukung program Penanggulangan Bencana terutama daerah-daerah yang sering sekali terjadi bencana besar.
(3) Minimnya infrastruktur yang tahan bencana di daerah membuat pemimpin daerah terpilih waswas dengan kondisi jalan, jembatan dan fasilitas umum lainnya yang ketahanannya tidak sesuai dengan standar fasilitas umum yang tahan gempa, longsor, tsunami, dan bahkan pada kondisi cuaca yang extrim. Dalam pembangunan infrastruktur baru yang tangguh terhadap bencana memerlukan investasi besar, yang sering kali sulit diwujudkan dalam waktu singkat.
(4) Kurangnya Kapasitas SDM dan Teknologi yang memadai, terutama pengetahuan dan keterampilan Aparatur Sipil Negara (ASN) di daerah dalam manajemen risiko bencana yang masih kurang, terlebih ada kesan keberadaan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPND) dianggap sebagai OPD buangan bagi ASN yang ‘nakal’ atau tidak memiliki kemampuan kerja yang produktif.
Dalam penerapan teknologi untuk mitigasi bencana, seperti sistem peringatan dini, pemetaan risiko berbasis geospasial, dan pemantauan cuaca, seringkali masih terbatas dan para sumber daya manusia kurang berkompeten dalam bidangnya.
(5) Ekspektasi dan kepercayaan masyarakat di daerah rawah bencana tinggi mengharapkan adanya solusi cepat dan konkret dari kepala daerah yang baru, khususnya dalam situasi darurat. Namun, jika respons terhadap bencana dinilai kurang memadai, kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dapat berkurang, yang pada gilirannya berdampak buruk pada stabilitas politik dan sosial.
Dengan kondisi tantangan yang akan di hadapi para Kepala Daerah yang baru perlu Strategi dan kebijakan yang kongkrit dalam menghadapi ancaman bencana di wilayahnya antara lain:
1. Mengintegrasikan Penanggulanggan Bencana ke dalam Perencanaan Pembangunan, Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) perlu memasukkan Penanggulangan bencana sebagai prioritas yang utama yaitu mitigasi dan darurat bencana denganmerencanakan tata ruang yang berbasis pada risiko, pembangunan infrastruktur yang tahan bencana, dan pengalokasian anggaran yang cukup untuk mitigasi dan tanggap bencana.
2. Penguatan Kapasitas Kelembagaan, Pemerintah daerah perlu memperkuat Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) melalui pelatihan sumber daya manusia, peningkatan anggaran operasional, dan pemanfaatan teknologi modern.Selain itu, perlu dipastikan peningkatan koordinasi antarinstansi untuk respon yang cepat dan terpadu.
3. Partisipasi Masyarakat, Masyarakat perlu dilibatkan dalam upaya mitigasi serta tanggap bencana melalui penguatan relawan dan ormas-ormas dan pemerintah daerah membentuk kelompok tim siaga dan tanggap bencana di mulai pada tingkat keluarga, desa, kecamatan dengan memberikan edukasi mengenai pengurangan risiko bencana, dan mengikutsertakan masyarakat dalam dalam kegiatan penanggulangan bencana mulai pra bencana, tanggap darurat dan pasca bencana.
4. Diversifikasi Sumber Danaan, Kepala daerah harur mampu berinovasi dalam mencari sumber pendanaan lainnya , seperti hibah dari lembaga internasional, program CSR dari perusahaan swasta, dan kerjasama dengan organisasi non-pemerintah (NGO).
5. Pemanfaatan Teknologi, dalam pemanfaatan tehnologi dimulai tehnologi tepat guna yang ada hingga tehnologi modern harus dimanfaatkan untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana. Sistem Pusat Pengendalian Operasi, Peringatan dini, aplikasi pemantauan bencana berbasis digital, dan pemetaan risiko dengan menggunakan data geospasial dapat menjadi alat bantu dalam mengurangi risiko bencana.
6. Penguatan Infrastruktur, Pembangunan infrastruktur baru perlu mempertimbangkan risiko bencana. Pemerintah daerah juga harus memprioritaskan rehabilitasi serta pemeliharaan infrastruktur yang sudah ada untuk meningkatkan ketahanannya terhadap bencana.
7. Pengawasan dan Evaluasi, Program mitigasi dan tanggap bencana perlu mencakup dan dievaluasi secara berkala untuk memastikan efektivitasnya. Hasil dari evaluasi tersebut dapat dijadikan dasar untuk meningkatkan kualitas program di masa yang akan datang.
Dalam simpulan menurut penulis Kepala daerah terpilih yang baru setelah Pilkada Serentak 2024 menghadapi tantangan besar dalam mengelola risiko bencana di daerah masing-masing daerah dengan jenis ancaman bencana yang berbeda-beda. Dengan pendekatan terencana, kolaborasi multipihak, dan komitmen yang kuat, tantangan tersebut dapat diubah menjadi peluang untuk membangun daerah yang lebih tangguh dan majy berkelanjutan. Masyarakat membutuhkan pemimpin yang responsif, inovatif, kreatif serta berorientasi pada solusi, terutama dalam menghadapi ancaman bencana yang semakin kompleks di masa yang akan datang.
Penulis: Andri Sulistyo, Mahasiswa S2 Unsoed Fakultas Fisipol Magister Admistrarsi Publik sekaligus Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Banjarnegara