SERAYUNEWS- Merdeka itu artinya mulia dan terhormat. Dari bahasa Kawi/Sanskerta maharddhika, secara etimologis berarti rahib/biku atau sakral, bijak atau terpelajar.
Dalam bahasa Jawa kuno (Kawi), kata ini dinisbahkan kepada para pandita atau biku Buddha yang mengandung arti seseorang/sesuatu yang memiliki kedudukan yang terhormat dan mulia.
Di zaman revolusi kemerdekaan, cita-cita kesetaraan kehormatan itu diberi aksentuasi, dengan kejamakan pemakaian imbuhan bung.
Kata Bung memiliki kesamaan dengan sebutan Citizen dalam Revolusi Prancis atau Kamerad dalam Revolusi Rusia.
Hal inilah yang membuat sapaan Bung terdengar revolusioner. Sapaan Bung menyiratkan cita-cita persaudaraan dalam kesederajatan kewargaan (citizenship).
Jurnalis senior Parakitri Tahi Simbolon dalam buku “Menjadi Indonesia” (2006) menulis, Sukarno memperkenalkan sapaan Bung ketika terbentuk Permufakatan Perhimpunan-perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 17-18 Desember 1927.
Sapaan itu belum terlalu populer pada masa 1920-an, walau Sukarno kerap menggunakan sapaan Bung kepada kawan seperjuangan dan rakyat kala berpidato.
Setelah kemerdekaan17 Agustus 1945, ada ancaman Belanda yang ingin kembali menjajah. Duta Fikra Abdu Hamid dalam Poster Revolusi Indonesia, 1945-1950 (2020) menulis, ide pembuatan poster perjuangan pertama kali dicetuskan Sukarno.
Untuk mewujudkan keinginannya, Sukarno memilih Affandi sebagai pelukis untuk poster tersebut. Affandi ketika itu melukiskan tokoh pelukis Dullah menggenggam bendera merah putih dengan kedua tangan yang terikat rantai.
Melihat poster Affandi tersebut, penyair Chairil Anwar memberi kata-kata pada poster tersebut, “Boeng, Ajo Boeng!”
Poster tersebut juga menyebar ke berbagai penjuru Indonesia. Chairil memperoleh kata-kata tersebut dari para wanita tuna susila di Senen ketika para wanita itu menawarkan jasa.
Namun, ada yang mengatakan kata Bung berasal dari bahasa Rejang Bengkulu, sapaan hormat pada rekan sebaya. Sukarno memperoleh kata ini saat mengalami masa pengasingan di Bengkulu sejak 1938-1942
Jadi, sejak 1 September 1945 pekik Merdeka telah menjadi salam nasional resmi. Sementara itu, kata Bung menjadi sangat populer.
Pada masa revolusi fisik itu, setiap kita berjumpa dengan kawan akan saling menyapa, “Merdeka, Bung.”
Perlahan sapaan bung hilang dalam pergaulan. Budayawan Ajip Rosidi dalam “Badak Sunda dan Harimau Sunda: Kegagalan Pelajaran Bahasa” (2011) menulis, sapaan Bung mulai berkurang penggunaannya setelah pengakuan kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada akhir 1949.
Kata tersebut berganti dengan sapaan Bapak atau Saudara. Menurut Ajip, secara tak langsung, Sukarno yang mempopulerkan, ikut pula menyingkirkan.
Ajip menulis, Presiden Sukarno minta orang sebut Yang Mulia atau Paduka.
“Timbul jarak antara rakyat banyak dengan para pejabat. Pemakaian Bapak dan Ibu kian populer,” tulis Ajip.
Seiring waktu, di masa Orde Baru, kata Bung kian menghilang dari belantika kosakata penggilan para elite nasional. Akan tetapi, tak ada informasi apakah Orde Baru sengaja menyingkirkan kata Bung dalam kamus mereka.
Ajip dalam bukunya mengingatkan, penggunaan kata sapaan Bapak, Ibu, dan Saudara selain memberi dampak positif, berupa tumbuh suburnya hubungan silaturahmi, tetapi punya dampak negatif.
“Berupa munculnya praktik nepotisme,” tulis Ajip.***(Kalingga Zaman)