SERAYUNEWS– Kabupaten Wonosobo tahun ini menginjak usia ke 199 tahun. Tepatnya pada tanggal 24 Juli mendatang, Kabupaten Wonosobo akan merayakan Hari Jadi Kabupaten. Momen sakral Bedhol Kedhaton dan Tapa Bisu bakal membuat khidmat perayaan ulang tahun tersebut, Selasa (23/7/2024) petang.
Bedhol Kedhaton atau perpindahan keraton merupakan perpindahan pusat pemerintahan Kabupaten Wonosobo. Jika dahulu pusat pemerintahan berada di wilayah Kecamatan Selomerto, dipindahkan ke Kecamatan Wonosobo yang saat ini digunakan untuk pusat kota.
Pada hari Rabu (24/7/2024), rencananya akan berlangsung Pisowanan Agung lan Kembul Bujana. Pada momen itu ada prosesi budaya memercikan air suci yang sebelumnya telah diambil dari 7 mata air. Bupati Wonosobo akan memercikkan air suci ke segala penjuru, simbul tolak bala dan keselamatan masyarakat.
Melansir laman Pemkab Wonosobo, sejarah berdirinya Wonosobo tidak dapat dilepaskan dari kisah tiga pengembara, yang masuk ke wilayah ini pada awal abad 17 lalu. Ketiga orang itu, Kyai Kolodete, Kyai Karim, dan Kyai Walik, kemudian berpisah dan menempati tiga wilayah berbeda.
Kyai Kolodete membuka permukiman di Dataran Tinggi Dieng, Kyai Karim di sekitar Kalibeber, dan Kyai Walik memilih wilayah yang kini menjadi Kota Wonosobo. Dari ketiga orang itu pula, muncul anak keturunan yang di kelak kemudian hari menjadi para penguasa di seputar Wonosobo.
Salah seorang cucu Kyai Karim disebut Ki Singowedono. Setelah mendapat hadiah dari Keraton Mataram, berupa sebuah wilayah di Selomerto, Ki Singowedono kemudian bergelar Tumenggung Jogonegoro. Jejak Tumenggung Jogonegoro dapat ditemukan di makamnya, di Desa Pakuncen, Kecamatan Selomerto.
Dari Kecamatan Selomerto itu pula, sejarah asal kata Wonosobo diyakini bermula. Banyak pihak meyakini, kata Wonosobo berasal dari sebuah dusun di Desa Polobangan, Kecamatan Selomerto. Dusun itu bernama Wanasaba. Dusun tersebut didirikan oleh Kyai Wanasaba.
Dusun kecil tersebut hingga kini masih ada, dan banyak dikunjungi para peziarah, yang ingin berdoa di makam Kyai Wanasaba, Kyai Goplem, Kyai Putih, dan Kyai Wan Haji. Selain itu, sejarah Kabupaten Wonosobo juga berkaitan erat dengan masa perang Diponegoro.
Di rentang tahun 1825-1830, wilayah Wonosobo menjadi salah satu basis pertahanan pasukan pendukung Pangeran Diponegoro. Bersama Imam Misbach, atau dikenal pula dengan nama Tumenggung Kertosinuwun, Tumenggung Mangkunegaran, dan Gajah Permodo, Kyai Muhammad Ngarpah berjuang melawan pendudukan Belanda di wilayah Wonosobo.
Dalam sebuah pertempuran, Kyai Muhammad Ngarpah berhasil meraih kemenangan pertama, sehingga kemudian diberikan gelar Tumenggung Setjonegoro. Tumenggung Setjonegoro, mengawali kekuasaannya berada di Ledok, Selomerto kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke kawasan Kota Wonosobo sekarang, setelah menjadi Bupati pertama Wonosobo.
Pemindahan pusat pemerintahan tersebut, setelah dikaji Tim Peneliti Fakultas Sastra Universitas Gajah Mada (UGM) bersama Musyawarah Pimpinan Daerah (Muspida), para sesepuh dan beberapa tokoh, termasuk pimpinan dewan perwakilan rakyat, dalam sebuah seminar, pada 28 April 1994.
Kemudian diyakini terjadi pada tanggal 24 Juli 1825. Tanggal 24 Juli itu pula, yang kemudian diperingati setiap tahun sebagai Hari Jadi Kabupaten Wonosobo.