Jika penat membebatmu, maka urailah. Alam, bisa jadi salah satu pelumas untuk mengurai penatmu. Nah, salah satu wisata alam yang bisa kau kunjungi di Banyumas adalah Curug Song. Tepatnya di Desa Kalisalak, Kecamatan Kebasen.
Sebelum aku cerita tentang jalanku ke sana, ke Curung Song itu, aku harus mengatakan padamu bahwa merambah alam harus dengan kondisi fit. Jika kau kaum rebahan, maka siapkan fisikmu dengan baik. Sebab, mencumbui alam tak bisa dengan modal rebahan.
Aku juga ingin mengatakan, mendaki Curug Song sepertinya tak cocok untuk anak kecil. Kecuali, jika kau hanya membawa anak-anak di bagian kolam renang tak jauh dari pintu masuk area Curug Song. Atau kau hanya membawa anak bermain di taman, maka tak masalah. Tapi kalau mendaki sampai melihat Curug Song, kalau bisa, jangan. Tapi itu hanya saranku saja.
Siapkan juga uang secukupnya. Parkir Rp 2 ribu, masuk Curug Song Rp 10 ribu, mau berenang Rp 10 ribu sampai Rp 15 ribu. Jika kau ingin memanjakan perut, maka berlebihlah menyiapkan uangmu. Di sana, berjejer warung makan.
*
Sabtu (30/10/2021) pagi, aku memulai perjalanan dengan kendaraan roda dua dari Pasar Patikraja, Kabupaten Banyumas. Menyelinap ke jalan selatan, melewati duplikat jembatan merah.
Setelah 300 meter melewati jembatan, ada pertigaan menghadang. Tentu saja aku memilih jalur ke selatan, menuju Kebasen. Sebab, jika ambil jalur kiri, maka aku akan menuju ke Desa Papringan, aku akan kesasar!
Aku tak perlu memainkan gas terlalu kencang di jalur Kebasen-Sampang ini. Sebab, ini bukan jalan besar. Lagipula, jalur ini juga agak meliuk-liuk, tidak lempang. Santai saja menggelindingkan roda motor.
Tahun lalu, aku masih ingat banyak lubang kutemukan di jalur ini. Tapi, saat ini jalan lebih baik. Setidaknya aku tak menemukan banyak lubang.
Di jalur ini, aku berpapasan dengan sawah, rumah-rumah, bukit yang kokoh, overpass yang tiap harinya digerayangi suara kereta api. Overpass yang sering dijadikan tempat selfie. Aku juga melihat Bendung Gerak Serayu. Melihat pula Sungai Serayu dengan debit air menaik karena tadi malam hujan.
Teruslah melaju ke selatan. Sampai kemudian menemui Kantor Polsek Kebasen. Secuil dari Polsek Kebasen, bertemulah perempatan. Ada penanda bertuliskan “Kalisalak”. Tanda yang menjelaskan jika ke Kalisalak, beloklah ke kiri. Ke kiri, aku ikuti terus jalan beraspal. Di jalan menuju Kalisalak itu, aku diapit sawah, dipagari bukit. Di tengah suasana itu, sesekali angin menampar mesra.
Hingga kemudian, terlihatlah gapura penanda dengan tulisan “Selamat Datang di Kalisalak, Desa Adat Desa Wisata”. Gapura dengan gambar kuda jingkrak mirip logo Ferrari. Jika kuda jingkrak dalam logo Ferrari menghadap ke kiri, maka kuda jingkrak di Kalisalak ini menghadap ke kanan.
Teruslah melaju. Hanya saja, beberapa ruas jalan memang tak mulus, tapi tak terlalu masalah. Lalu, di kanan jalan terlihat penanda soal Curung Song. Penanda yang menjelaskan bahwa Curug Song belok kiri. Ikuti saja jalurnya.
Pada akhirnya, di tengah menelusuri jalan, semakin jarang rumah aku lihat. Sesekali rasa khawatir mengelus-elus. “Jangan-jangan aku salah jalan,” batinku. Tapi, seperti biasa, tetap saja ada orang desa yang bisa ditemui. Seorang warga menjelaskan bahwa aku tak salah jalan. Jadi, tak ada yang salah dengan jalanku.
Namun, sepi benar-benar mendekap. Tak terlihat rumah di sekelilingku. Hanya pepohonan dengan aura lembap karena tadi malam diguyur hujan. Sepi, tapi aku mendengar cericit burung dan paling kentara adalah suara tonggeret yang kencang itu.
Aku lihat jalan mulai tak biasa karena tak lagi beraspal. Tapi aku tetap melaju, sembari berjudi karena bisa saja aku salah jalan. Di antara perjudian itu, jalan memang tak terlalu bersahabat karena bergeronjal.
Sampai kemudian aku menemui jembatan. Tak jauh dari situ ada spanduk ucapan selamat datang pada Bupati Banyumas yang entah sudah berapa waktu lampau, masih terpampang. Ada juga spanduk gambar Presiden Jokowi bermasker. Lepas dari dua spanduk itu, aku berpapasan loket terbuat dari kayu, tempat membayar parkir Rp 2.000.
“Jalannya agak berat ya pak?” tanyaku.
“Ya, tapi sekarang dalam proses (menuju perbaikan) karena akan diperbaiki,” kata salah satu penjaga di Curug Song.
Setelah aku tahu, ternyata jalan yang kulewati bukan jalan satu-satunya. Ada jalan lain menuju Curug Song, jalan yang agak bagus daripada jalan yang kulewati tadi.
Oke, sampailah ke kompleks Curug Song. Pemandangan warung berdempetan sudah terlihat. Warung-warung itu berlatar belakang hutan pinus yang kokoh. Kau bisa tarik napas dalam-dalam di sini. Sebab, udaranya relatif masih bersih.
Setelah motor diparkir, aku mulai berjalan kaki. Aku baru sadar bahwa aku adalah pengunjung pertama di hari itu. Sembari berjalan, aku mendengar suara air di sungai yang bergesekan, berburu menuju jalur yang lebih rendah. Air yang tertumbuk banyak bebatuan. Di tengah gemericik itu, suara menawarkan makanan dan minuman mulai bersahutan.
Menoleh ke kanan, ada kolam renang. Sepertinya cocok untuk anak kecil. Sebab, selain ada kolam yang dalam, ada juga yang cetek. Menuju gerbang loket, protokol kesehatan diterapkan. Selain memakai masker, juga mencuci tangan pakai sabun.
Membayar Rp 10 ribu sembari disambut lagu campursari “Cinta Tak Terpisahkan” yang dipopulerkan Cak Diqin. Aku tarik napas dalam-dalam dan mulai berjalan menanjak. Sebagian jalan adalah paving dan sebagian lagi adalah batu yang sudah disemen.
Tapi memang harus hati-hati dan konsentrasi karena sebagian masih terlihat basah. Tengok kanan-kiri. Selain pohon pinus yang berjajar, ada juga pohon jati yang berdiri tegak. Ketika suara gemericik air mulai pelan, suasana digantikan dengan hijaunya lingkungan khas hutan dengan pohon berderet berkolaborasi dengan lagu campursari.
Ada juga taman, sepeda air, flying fox menambah pemandangan. Jalan menanjak harus dilalui untuk sampai melihat pemandangan Curug Song. Di samping jalan itu, ada juga tulisan soal waspada tanah licin dan longsor (kecil). Sebagian jalan, hanya sempit dan harus hati-hati, khususnya saat di dekat tempat selfie berlatar belakang Curug Song.
Sejak perjalanan menanjak, keringat pun bercucuran tak keruan. Aku butuh waktu 23 menit untuk bisa melihat Curug Song. Sejenak duduk dan memandangi Curug Song. Pagi itu, curah air dari Curug yang bertinggi 40 meter itu tak terlalu deras. Nama Song sendiri bermakna cekungan. Sebab di bawah curug tersebut ada cekungan.
Suara alam yang berhamburan, mengurai penat sementara. Tebing dan pepohonan yang menjulang tinggi, menambah suasana makin tenang. Jika sudah lelah di atas, maka istirahatlah sejenak melepas lelah. Jika kemudian ingin kembali turun, maka pastikan kau bisa fokus.
So, Curug Song bisa dijadikan alternatif berwisata alam di Banyumas. Hanya saja memang, setahu saya tak ada moda transportasi umum menuju tempat ini. Maka, bisa memakai kendaraan pribadi baik roda dua atau empat. Curug Song buka tiap hari dari pukul 08.00 sampai pukul 17.00 WIB.