SERAYUNEWS– “Dengan senapanku di tangan kanan, Ikat pinggang penuh peluru granat tangan, Aku terus maju menyerbu lawan, Sampai titik darah penghabisan, Hancurkan si hantu penjajahan”
Sucipto (90), warga Desa Gununglangit Kecamatan Kalibening Banjarnegara ini, masih sangat hapal lirik lagu tersebut. Lagu itu, jadi pembangkit semangat juang pasukan penjaga perbatasan Indonesia dengan Belanda di ujung Desa Gununglangit Kalibening yang sekarang berbatasan dengan Kabupaten Pekalongan.
Berdasarkan fakta sejarah, Indonesia menjadi terbelah pasca perjanjian Renville antara Indonesia dengan Belanda pada 17 Januari 1948. Perjanjian Renville memuat beberapa persetujuan, yaitu: Belanda hanya mengakui Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Sumatera sebagai bagian wilayah Republik Indonesia. Di setujuinya sebuah garis demarkasi yang memisahkan wilayah Indonesia dan daerah pendudukan Belanda.
Atas fakta tersebut, Sucipto bersama warga Gununglangit dan sekitarnya yang masih setia kepada RI, segera bergabung dengan pasukan penjaga perbatasan dari kesatuan Hizbulloh di bawah pimpinan Kahar Muzakar.
“Gununglagit ke arah Banjarnegara, masuk wilayah Indonesia. Sedangkan Desa Kaliboja, masuk wilayah Belanda. Di situlah perang adu nyali dan kesaktian, serta kesetiaan jadi pertaruhan,” katanya.
Perpindahan pasukan dan rakyat yang setia kepada RI, terpusat di Kalibening setelah Pekalongan masuk menjadi wilayah Belanda. Bersama pasukan Hizbulloh dari berbagai kabupaten seperti Tegal, Brebes bahkan bantuan pasukan dari Divisi I Diponegoro, Sucipto dan warga lainnya menjaga dan berhadapan langsung dengan Belanda di perbatasan di bawah bukit Gedegan dan Bukit Tipis.
“Saya saat itu berumur 15 tahun. Selain sebagai pasukan hutan, saya juga menjadi penunjuk jalan bagi Hizbulloh dan lainnya, saat berpatroli atau melakukan pengusiran terhadap penjajah,” katanya.
Tugas dia saat itu, selain menjadi pasukan penculik Belanda dan pencari senjata, juga memberitahu kepada Republik agar dapat membedakan mana orang Kaliboja Belanda dan orang Kalibening.
Sering terjadi pasukan terjebak, karena tidak bisa membedakan warga Kalibening dan Kaliboja. Karena memang wilayah tersebut berbatasan langsung sehingga logat dan gaya bicara sangat mirip.
“Tiada hari tanpa perang, kami bergantian melawan Belanda. Saya bersama yang lainnya menjadi pasukan bambu runcing yang tugas utamanya adalah menyerang di tengah malam baik menculik, membunuh atau mencuri senjata Belanda. Penjajah sangat takut, dengan bambu runcing mayat Belanda ditl tusuk dari dubur hingga ke dada. Itu yang membuat belanda takut,” katanya.
Kemenangan pasukan tersebut, kata dia, karena memanfaatkan parit kecil yang memanjang melingkari bukit Gedegan dan Tipis buatan Jepang saat itu.
“Saya dan teman-teman lainnya di sebut pasukan khusus dan dapat julukan Pasukan Gorila. Ini pasukan kebal senjata dan sakti, karena bisa menghilang di tengah hutan, kami juga sangat hapal medan di sini. Tidak terhitung kami kehilangan keluarga, teman bahkan kadang juga terpaksa memusuhi teman karena berbeda negara,” katanya.
Selain bambu runcing, Sucipto juga bersenjata bambu berisi cairan cabai dan buah tertentu yang apabila di semprotkan akan pedas, panas dan sangat gatal. Senjata tersebut, menjadi senjata andalan untuk serangan malam atau saat penculikan maupun perampasan senjata.
“Senjata yang berhasil di dapat, di serahkan kepada pasukan tentara Indonesia yang bermarkas di desa Bedana Kalibening,” katanya.
Entah di tahun berapa dia lupa, pasukan Sucipto bubar seiring dengan di tariknya tentara ke Jogjakarta dan Belanda juga meninggalkan pos perbatasan Kaliboja.
“Yang saya masih ingat, di hari Minggu Legi pukul 6 pagi sampai 11 siang, Kalibening luluhlantak akibat hujan bom dari pesawat Belanda. Kami semua lari masuk hutan dan masuk ke parit peninggalan Jepang. Ini masih saya ingat sampai sekarang,” katanya.
Sucipto sendiri saat ini hidup di rumah kecil sederhana, tanpa penghasilan pasti bersama anaknya yang sudah berkeluarga dan Rumini istrinya. Sang istri tercinta, Rumini kondisinya sakit sudah puluhan tahun dan hanya berbaring di tempat tidur.
“Saya sangat ikhlas berjuang, tidak berharap apapun dari republik. Tugas saya melawan penjajah sudah selesai, saat ini tinggal menikmati hari tua bersama istri dan anak cucu. Indonesia sudah merdeka. Saya bangga dan bahagia menjadi bagian dari perjuangan itu,” katanya.